Roadshow MICE Korea di Medan 

Roadshow MICE Korea di Medan 

MEDAN – Korea Tourism Organization – Jakarta Office menggelar  MICE (Meeting, Incetive Convention and Exhibition) Roadshow dan Gala Dinner di Hotel JW Marriott Medan, Kamis (22/4). Roadshow tersebut digelar setelah Jakarta. 

Pada MICE Roadshow tersebut, Korea Tourism Organization mengundang beberapa biro wisata Korea Selatan dan local tourism organization-nya yang bergerak di bidang MICE berkesempatan bertemu langsung agen biro pariwisata di Medan. 

Helen Shim Director Incentive and Exhibition Team Korea Tourism Organization yang berkedudukan di Korea didampingi Michael Kwon Director Korea Tourism Organization Jakarta Office mengatakan bahwa Korea sebagai destinasi MICE tidak hanya menawarkan fasilitas unggulan bagi pelaksaan pameran dan meeting, namun juga menawarkan alternative acara yang bakal menarik bagi para peserta MICE. 

Total 10 lokal tourism organization yang bertemu para agen pariwisata di Medan antara lain Jeju Convention and Visitor Bureau, Busan Convention and Visitor Bureu, Busan Metropolitan City Government, Seoul Torism Organization, Redcap Tour, US Korea Tour dan BT&I. 

Shim mengatakan tahun 2012 merupakan tahun MICE yang sangat penting bagi Korea karena di awal tahun Korea Selatan menjadi tuan rumah untuk Nuclear Summit di Seoul yang dihadiri oleh lebih dari 50 kepala negara, termasuk Presiden SBY. 

“Tidak hanya itu dibulan Mei – Agustus, kota Yeosu akan menjadi tuan rumah bagi pameran maritime terbesar di dunia, Yeosu Expo 2012. Di sini tercatat lebih dari 150 negara akan berpartisipasi dalam pameran yang mengambil tema The Living Ocean and Coas,” kata Shim. 

Pada event tersebut pesisir Yeosu siap menampung lebih dari 80 ribu wisatawan mancanegara yang akan memadati kota yang berlokasi tidak jauh dari Busan tersebut.

peta medan

Orang-orang yang membawa kontribusi yang positif terhadap Sumatera Timur, masa 1860-1942

Orang-orang yang membawa kontribusi yang positif terhadap Sumatera Timur, masa 1860-1942.

Dipresentasikan pada Seminar :

“Para Tokoh, Pejuang dan Pahlawan Sumatera Utara”

Diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Imu-ilmu Sosial (PUSSIS)

Negeri Universitas Medan, Medan, 10 Nopember 2007

Oleh Dirk A. Buiskool

Pendahuluan

Untuk pembicaraan ini saya mengumpulkan informasi tentang orang-orang yang telah membawa kontribusi yang positif terhadap Sumatera Timur, pada masa kolonial. Sekarang ini adalah provinsi Sumatera Utara. Saya telah menemukan informasi dari sumber-sumber berbeda misalnya: Laporan-laporan pegawai negeri yang dikirim ke pemerintah kolonial, koran-koran, hasil rapat   dari dewan kota, dan sastra yang ada. Walaupun daftar masih bisa berubah-ubah kita bisa mengatakan bahwa orang-orang ini telah membantu untuk membangun daerah, masing masing dalam cara-cara mereka sendiri.

Wirtschaftswunder

Sejarah kolonial Sumatera Utara agak pendek, sebelum tahun 1860-an ketika itu sebenarnya belum ada orang Belanda. Alasan untuk perkembangan cepat dari Deli adalah industri perkebunan. Atas undangan Sultan Mahmoed Perkasa Alam Shah dari Deli, Jacob Nienhuys datang dengan maksud menanam tembaco dan setelah beperapa tahun suatu Wirtschaftswunder (ke ajaiban ekononomi) mulai. Di tahun 1870 ada terdapat 13 perkebunan, dua puluh tahun kemudian di tahun 1890 ada terdapat 170 perkebunan tembakau. (De Jong 2000: 303). Nienhuys merekrut kuli kuli untuk perkebunan dari Cina. Pertama mereka datang dari Penang dan Singapore kemudian mereka langsung dari dari Cina. Kuli berasal dari India juga di rekrut. Dari tahun 1890 banyak pekerja dari Jawa datang ke Deli untuk bekerja di perkebunan. Kwalitas tembakau dari Deli amat tinggi kwalitasnya, pertama di dunia sebagai pembungkus daun luar. Tidak ada dari negara lain juga bukan dari Amerika kwalitas daun tembakau yang sebaik dari Deli.

Terima kasih untuk tuntutan tinggi untuk prosedur kerja dari  penanam Belanda yang menanam tembakau. Di tahun 1910 ada produk baru yaitu karet. Sumatra Timur mengalami masa rubber boom (permintaan produk karet yang luar biasa) karena permintaan dunia, disebabkan mulainya industri mobil pada saat yang sama. Dari tahun 1915, sawit dan kurang berkemang tanaman teh,  juga membawa keuntungan di daerah Deli adalah sawit.

De millioenen uit Deli

Ada sisi lain dari Wirtschaftswunder. Kondisi pekerja atau kuli-kuli sering buruk khususnya sampai awal abad ke dua puluh. Satu faktor yang berkontribusi terhadap itu  biasa di panggil koelie ordinantie dengan poenale sanctie dari  tahun 1880, dengan ini para pekerja dilarang meninggalkan perkebunan selama tiga tahun. Poenale sanctie atau sanksi hukum artinya bahwa kalau ada kuli lari dari perkebunan maka dianggap kuli melanggar hukum dan bisa ditangkap oleh polisi.  Koelie Ordinantie (undang undang untuk kaum buruh/kuli) ini ditegakkan karena pada tahun tahun sebelumnya banyak pekerja keluar dari perkebunan mereka selama masih periode kontrak mereka. Walaupun dalam kontrak tidak begitu buruk, jika dibandingkan dengan kontrak pekerja di Malaysia, disitu banyak kelewatan perilaku buruk. Pada tahun 1902 pengacara Medan J. van den Brand mempublikasikan brosur De millioenen uit Deli (Juta-jutaan dari Deli) tentang perlakuan buruk planter planter terhadap kuli. Selanjutnya suatu sistem pemeriksaan tenaga kerja telah dibuat dan pada tahun berikutnya kondisi tenaga kerja di perkebunan meningkat. Walaupun kuli ordinansi baru berhenti di tahun 1934.

Sisi positif dan negatif

Pertanyaan perkembangan ekonomi sering menjadi bahan diskusi sebab ada sisi positif dan negatif. Untuk membangun kota yang indah St. Petersburg di abad ke-17 Russia oleh Czar Peter the Great ratusan ribu orang kerja paksa meninggal. Jadi kita harus berterima kasih kepada Peter the Great untuk St. Petersburg yang indah? Atau kita harus mengadili dia untuk ribuan orang yang meninggal sebagai harga yang harus ia bayar untuk karya yang indah itu?

Revolusi industri di Eropa Barat dan Amerika Utara terjadi atas pengorbanan satu proletariat pekerja yang telah di eksploitasi oleh satu ’elite kapital borjuis’, demikian kutipan Karl Marx. Marx dan Engels menggaris bawahi  atas pertanyaan ini dari eksploitasi kelas buruh, dan mempersiapkan jalan untuk revolusi kommunis di Russia di tahun 1917. Dari akhir abad ke 19, partai buruh di Eropa – dan juga partai Kristen dan Liberal – telah mencoba dan memperbaiki kondisi kerja untuk kaum buruh melalui cara parlementer. Dan benar kondisi kondisi menjadi lebih baik ditahun selanjutnya, waktu undang undang telah diberlakukan dan kaum buru mendapat suara politik.

Waktu yang sama, di Sumatra Timor adalah suatu perkembangan luar biasa didalam ekonomi perkebunan dan, juga, dalam kondisi kerja kaum buruh. Tetapi di Sumatra telah berlaku kuli ordinansi. Ordinansi ini adalah suatu sumber diskussi berkepanjangan dalam koran koran dan badan politik, terima kasih untuk pers yang bebas.

Untuk mengulang: bagaimana kita menilai investor-investor yang memulai industri, perkebunan besar dan pabrik yang memberikan kerja kepada banyak orang, menyalahkan atau memuji mereka? Yang penting kepada topik ini adalah berapa banyak penduduk setempat memperoleh keuntungan oleh investment ini. Apakah  perkembangan  memberikan kemakmuran kepada daerah atau investor-investor hanya mencari keuntungan sendiri dalam harga orang-orang yang menderita? Berapa jauh mereka membangun infrastruktur dan rumah sakit, keperluan medis dan pendidikan para pekerja, dan menambah kemakmuran orang-orang dikeseluruhan? Apakah orang-orang menikmati atau menderita karena inisiatif kapitalis ini? Dan bagaimana kondisi pekerja?

Kita melihat di kasus Deli Sultan-lah yang telah mengundang Nienhuys untuk memberi kemajuan perkebunan dalam satu kali percobaan, dan Nienhuys berhasil mengembangkan tanaman tembakau jauh diatas dugaan. Perusahaan tembakau tersebut menjadi sangat kaya, dan ribuan hektar hutan di tebang. Kota Medan adalah hasil dari industri perkebunan. Apakah ini bagus atau buruk? Pasti ada sisi posif-nya, seluruh daerah yang dulunya hanya ada beberapa penduduk setempat menjadi lokasi perkebunan baru dengan banyak kegiatan. Kota baru telah dibangun dengan infrastruktur baru, jalan, rel kereta api, dan semua fasilitas publik.

Sisi negatif-nya adalah kondisi pekerja perkebunan untuk kuli. Sejauh mana kuli-kuli ini mendapat keuntungan? Ternyata banyak kuli yang kewarganegaraan-nya Tionghoa yang menyimpan uang, untuk di kirim ke China untuk mendapatkan hidup yang lebih bagus di masa depan. Beberapa tetap tinggal di Sumatera dan memulai bisnis. Banyak pekerja India, dan kemudian orang Jawa yang di rekrut dalam jumlah yang besar, memiliki sukses yang sama. Kenyataan-nya adalah banyak sekali orang Tionghoa dan Jawa yang mau melakukan migrasi biasanya karena kondisi miskin yang mereka tinggalkan, dan tidak begitu banyak masa depan yang cerah.

Di tahun 1924 Sumatera timur yang diperintah lain dari yang pernah di perintah pada tahun 1870. Dimana-mana ada perusahaan orang Eropa, pribumi dan China. Dengan Penang dan Singapore ada hubungan pelayaran yang sangat intensif. (Clemens –  Lindblad, 1989: 25) Koran De Sumatra Post yang berbahasa Belanda menggaris bawahi tentang terlibatnya orang Eropah dan menulis di tahun 1926: ”Deli adalah sangat berbeda dari Java, dimana pertanian disesuaikan dengan penduduk lokal dan kebudayaan lokal. Deli adalah sama sekali daerah barat tanpa pengaruh Indonesia dan tanpa tradisi Indonesia, tanpa populasi asli lokal dan tanpa populasi Indo Eropa. Deli adalah suatu kreasi hebat, dibuat oleh beberapa orang barat bersama dengan orang China dan Java.” (De Sumatra Post (SP) 30-12-1926)

Perkebunan dinamai Leviathan (raksasa) daerah, sebab semua tergantung pada mereka. Infrastruktur lengkap, pelabuhan, jalan, sistem rel kereta api, perbankan, semua dibangun untuk perkebunan. Di 1938 Sumatera Timur, dengan 1.7%  dari total daerah dan hanya 2.5%  dari total populasi dari Hindia Belanda, dapat mengekspor 21%  dari ekspor total.

Dengan itu Sumatera Timur adalah daerah perkebunan yang paling penting di pulau-pulau luar. (Thee Kian-wie 1977: 43)

Drainage theory

Seberapa jauh industri perkebunan benar-benar memberikan kemakmuran kepada daerah dan orang-orang? Industri perkebunan di Sumatra Timur memberikan potensi yang terbatas karena ke tergantungan akan industri perkebunan. Tidak ada kegiatan ekonomi yang lain atau kegiatan industri sebagai contoh industri manufakturing. Walaupun demikian gaji gaji masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah Hindia Belanda lainnya. Import untuk barang barang konsumsi masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan pulau Jawa dan Sumatra Barat. Ada teori yang mengatakan bahwa perkebunan

membocorkan ekonomi (drainage theory) dan memiskinkan daerah. Jadi investmen asing membawa pengaruh negatif karena ia mengurangi kemakmuran di daerah itu. Berlawan dengan teori ini terori lain mengatakan bahwa investment asing menaikkan produksi dan daerah yang tidak berkembang akan mengalami pertumbuhan dan membawa kemakmuran bagi daerah itu. Sebagai akibatnya daerah akan lebih kaya dari pada miskin oleh investment asing. (Thee Kian-wie 1977: 49,69)

Walaupun keadaan kuli di Sumatra Timur berat tapi ada perbaikan lama kelamaan. Keadaan kerja dan kesehatan lebih baik di tahun 1920 dari pada di tahun 1910. Juga di achir tahun 1920 kekerasan terhadap kuli oleh asistent tuan kebun berkurang. Di tahun 1904 (waktu ini pemeriksaan terhadap buruh dimulai) pemeriksaan terhadap kuli hanya memfocuskan mengenai kekejaman terhadap kuli. Dua puluh tahun kemudian pemeriksa buruh langsung diikut campuri didalam kondisi buruh. (Houben – Lindblad, 1999:72)

Rumah sakit dan sekolah sekolah untuk anak anak kuli mulai dibangun di tahun 1906 sebagai akibat dari politik etis yang achirnya mencapai masyarakat perkebunan. Pada umumnya ada perbaikan kondisi buruh setelah dijalan inspeksi buruh. Tetapi keadaan yang milteristik dan rasistis tetap ada. (Naudin 1905: 41; Andalas 15-3-1917; De Jong  2000: 405)

Pemerintah kolonial mempunyai peran yang patut di pertanyakan tentang masalah kuli, sebab mereka harus membalans antara kepentingan ekonomi industri perkebunan dan kemakmuran kaum buruh. Industri perkebunan hanya dilihat sebagai kepentingan vital buat pemerintah kolonial, dengan eksport yang hebat dan pemasukan pajak. Dari sisi lain keputusan etis dan kesadaraan sosial membuat planter planter harus mempertanggung  jawab atas kemakmuran kuli kuli. Contoh pertama dari keprihatinan itu adalah dimulainya pemeriksa buruh. (Houben – Lindblad 1999: 235)

Koran koran dan laporan laporan pemerintah menulis positif dan negatif tentang pegawai negeri. Dalam Sumatra Post tanggal 8 Februari 1905 ada suatu berita yang ngeri tentang seorang district officer yang menerima kedatangan resident (pejabat yang tinggi) di Belawan: ”Tiba tiba se orang pribumi jalan didepan district officer, officer ini menolak dia akibatnya orang pribumi jatuh didalam sungai dengan banyak buaya. District officer menerima resident seperti tidak terjadi apa apa.” (SP 8-2-1905). Cerita macam ini refleksi ketidakmanusiaan beberapa individu individu dan jelas adalah suatu contoh pemerintahan yang jelek. Syukurlah juga ada banyak cerita yang positif tentang pegawai negeri yang mau bekerja dengan maksud yang baik untuk rakyat sebagai kita melihat dibawah ini. Sebagai contoh district officer Obdeyn yang membuat pengobatan massal  untuk penduduk Kampong Kling. (SP 30-7-1915)

Dewan kota

Pada tahun 1909 Medan menjadi suatu kotamadya dan dewan kota telah dibentuk. Disini hidup Afdeelingsraad atau Negorijraad (Dewan Daerah), yang mewakili keseluruhan daerah Deli (bagian atas dan bagian bawah Deli). Sebagai tambahan, dibentuk suatu tingkatan regional Plaatselijke Raad van het Cultuurgebied ter Oostkust van Sumatra (Dewan Lokal Area Kultur pada Sumatra bagian Timur) disebut Cultuurraad (Dewan Kultur). Nama dewan kultur menunjukan perkebunan di mana ‘produk kultur’ seperti tembakau dan karet telah tumbuh. Cultuurraad pertama mengurus jalan, jembatan dan kanal kanal di Sumatra Timor. Dewan itu mempunyai 25 anggota, 13 dipanggil oleh pemerintah (assistent resident, district officers, Sultan-sultan dan kepala suku orang Tionghoa) dan 12 anggota non pemerintah dari perkebunan. (SP 8-3-1909). Cultuurraad diketuai oleh resident dan kemudian gubernur Sumatra Timor.

Dalam paper ini saya akan memfokuskan mengenai dewan kota. Lima belas anggota awalnya tidak dipilih tetapi ditunjuk oleh pemerintah. Di tahun 1909 ketua dewan kota adalah assistant resident Maier dan anggotanya Tjong A Fie, Toengkoe Besar, Polis, Djaksa, Lusink, Roest, Bool, Stecher, Vriens, Arends, Schneider dan Brink. Kumpulan pertama topik topik adalah balai kota, pemadam kebakaran, got got dan drainase, syarat syarat air dan tempat publik mandi umum. (SP 9-6-1909)

Pada tahun 1912 demokrasi di Medan mulai dengan cara terbatas. Hanya pria Eropa dan yang ‘sederajat’ saja yang mempunyai hak untuk memilih; mereka ini harus lebih dulu mempunyai pendapatan minimum tertentu. Hal itu sama seperti di Belanda. Tetapi pada tahun 1917, seperti juga di Belanda, hak pilih umum mulai di masukkan dalam undang undang. Walaupun hanya untuk pria yang mempunyai batas pendapatan minimum. 16 Juli 1918 adalah hari yang besar ketika pemilihan untuk dewan kota boleh diikuti oleh pribumi dan oriental asing (orang orang Tionghoa, Arab dan India). Di tahun 1918 juga  di tunjuk seorang walikota.

Ada banyak orang yang tinggal di kota Medan, dan banyak, dari pegawai negeri biasa, sampai anggota dewan kota yang mulia, berkontribusi dalam satu cara atau yang lain untuk perkembangan kota Medan dan penduduknya. Ada sisi positif dan negatif seperti di masa kolonial dimana mana dibelahan dunia lain. Didalam dewan kota di dominasi oleh orang orang Belanda tetapi seperti yang dapat kita lihat mereka kerja sama erat dengan teman sekerja orang Indonesia dan orang Tionghoa.

Membaca hasil rapat dari waktu ke waktu dalam koran waktu bertahun tahun dan pembangunan di tahun 1912 sampai 1941, kesan umum adalah kemauan besar anggota untuk mengembangkan kota Medan dengan Belanda dan kaum pribumi dan Tionghoa.

Pertemuan diadakan dengan suasana sangat bersahabat  walaupun ada juga conflik dalam perbedaan pendapat. Bagaimanapun kesan adalah amat positif  jelas dan bukan kekerasan penjajahan dengan mengambil keuntungan dari penduduk setempat. Sebetulnya setiap agenda dewan kota termasuk dalam mengambil keputusan untuk project sosial seperti perkembangan kampung, pembangunan pasar pasar umum dan rumah potong, perumahan sosial, pendidikan buat penduduk setempat.

Orang Indonesia dan Tionghoa berbicara atas nama suku masing masing dan memperjuangkan kepentingan buat suku masing masing. Walaupun pembuat keputusan di dominasi oleh Belanda, tapi orang Indonesia dan Tionghoa selalu terlibat dan termasuk sebagai anggota komisi.

Setelah pembangunan dewan kota di tahun 1912 dua group politik di mulai. Program group politik Kiesvereeniging Gemeentebelang (organisasi pemilih untuk kepentingan kotamadya) di didirikan oleh seorang pengacara yang terkenal J. van den Brand telah dikenal baik sebagai penulis buku berjudul De millioenen uit Deli. Kumpulan ini membuat suatu program politik kota Medan yang independen dan mementingkan program kesehatan untuk seluruh penduduk, pendidikan dan pensiun untuk seluruh pegawai negeri dari setiap etnik group. Perkumpulan ini ingin menurunkan pajak, mengurangi pelacuran dan menghapuskan profesi rickshaw. (SP 19-4-1912)

Algemeene Medansche Kiesvereniging (Perkumpulan Pemilihan umum kota Medan) adalah kelompok politik yang kedua tetapi kira kira mempunyai tujuan yang sama. (SP 16-2-1912)

Medan di tahun 1912 adalah kota yang modern. Perusahan Air Bersih telah berdiri di tahun 1905 dan sejak tahun 1897 perusahan listrik negara. Perusahaan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) atau Maskapai Kereta Api Deli memelihara disamping jalan kereta api juga kabel telegraf dan telephone. Pasar pasar masih di tangan swasta. Sistem riol sebagian kota Medan selesai tahun 1921. Perkembangan kampung mulai di tahun 1918 ketika itu Sultan Deli memberikan tanah ke kotamadya Medan.  Daerah Polonia belum ada dan Glugur sebagai daerah industri baru mulai.

Suatu topik menarik adalah ricksjaws atau hongkong (becak yang ditarik dengan tenaga manusia). Pada bulan Mei tahun 1916, anggota dewan Tjong A Fie dan van den Brand, yang diusulkan dewan kota perlu ditetapkan suatu komisi pengawas khusus untuk mempelajari larangan terhadap ricksjaws. Orang Tionghoa melihat professi ricksjaw sebagai profesi hina dan semua tukang ricksjaw adalah Tionghoa.  (SP, 4-5, 9-5, 10-5, 11-5, 16-5-1916). Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1926, ricksjaws belum dihapuskan. (Gemeenteblad 16-11-1927)

Jika kita melompat ke tahun 1930, agenda topik dewan kota menjadi di desentralisasi dan pinjaman dari pusat pemerintah untuk pembangunan pasar baru. Kemudian agenda tentang terciptanya pemdam kebakaran secara suka rela dan perumahan. Dewan memutuskan bahwa 67 rumah akan di bangun di kota Matsum (SP 23-1-1930) Hal yang lain adalah perkembangan pelabuhan udara yang membuat hubungan antara Hindia Belanda dan Belanda telah dimulai. Di tahun 1924 pesawat dari Belanda mendarat di Medan untuk pertama kalinya di atas tanah Indonesia. (Loderichs – Buiskool 1997: 29)

Setahun sebelum penjajahan Jepang keadaan di kota Medan sudah menakutkan. Sebagai anggota dewan kota Tionghoa, Jap Gim Sek bertanya, apakah diperlukan ruangan khusus  untuk persembunyian di bawah tanah pada rumah sakit umum kotamadya. Tapi dewan kota merasa itu belum perlu. Hal yang lain dibicarakan adalah menyelesaikan pembangunan pusat pasar dan mendirikan pusat kesehatan kotamadya. Anggota yang hadir dalam kumpulan adala Klevant, van der Schaaf, Meyer, Emmels, Jap Gim Sek, Soeleiman, Soegondo, Baharoedin, Tan Boen An, Djamaloeddin, Romme dan van den Bergh. Ketua adalah walikota Kuntze. (SP 18-4-1941). Sampai disini kita melihat agenda peninjauan luas dari tahun 1912 sampai 1941.

Orang-orang

Dengan ini kita melihat daftar orang orang yang telah berkontribusi dalam satu cara atau yang lain untuk perkembangan Sumatra Timor. Orang orang ini sering dapat dilihat dalam koran koran dan laporan untuk alasan yang berbeda. Orang orang ini berasal dari anggota dewan kota, pegawai negeri, penulis, pengusaha atau missionaris. Sebab topik utama penelitian saya orang Tionghoa, saya mempunyai paling banyak informasi tentang orang Tionghoa. Itu tidak berarti kelompok lain kurang penting, hanya saja saya tidak  memfokuskan untuk kelompok etnis yang lain. Karena itu saya mempunyai lebih banyak informasi tentang orang Tionghoa daripada orang Indonesia. Saya telah mengkolleksi data data tanggal lahir dan meninggal dari orang orang dibawah ini; walaupun dalam banyak kasus saya belum memiliki semuanya. Tentang beberapa orang saya mempunyai banyak informasi, tentang yang lain sedikit sekali.

Diatas saya telah menyebutkan dua pihak mengenai perkembangan industri perkebunan. Menurut pendapat saya kita harus menyimpulkan bahwa pertimbangan kedua aspect adalah positif. Perkembangan bagus untuk daerah Sumatra Timur dan dalam contekst ini kita harus mengucapkan terima kasih karena Sultan Mahmoed Al Rasjid telah mengundang Nienhuys untuk memulai industri perkebunan. Selanjutnya kita akan melihat ke figur Cremer yang mengembangkan perusahan perkebunan ke jumlah yang amat besar. Walaupun saya menyadari bahagian yang negatif tapi menurut pendapat saya pertimbangan yang terachir adalah positif.

Tidak terhitung jumlah orang orang yang telah memberikan kontribusinya untuk mengemangkan daerah daerah Sumatra Timur. Kita juga tidak boleh memfocuskan ke satu etnis group atau sebagai contoh ”mencari orang orang yang melindungi kaum pribumi yang miskin untuk melawan penjajahan Belanda” ; di banyak cara penjajahan Belanda adalah memerintah dengan maksud baik dan benar benar mencoba untuk menaikkan penduduk lokal dalam tradisi politik etis. Amat sering pegawai tinggi Belanda harus melindungi penduduk lokal melawan eksplotasi oleh kepala suku lokal. (Indische Gids 1914, I: 435; Coolhaas Wikipedia) Walaupun Deli menjadi amat kontroversial karena kuli ordinansi, waktu yang sama pemerintahan sering banyak perhatian sama penduduk dan kemanusiaan.

Satu sumber menarik untuk informasi tentang orang orang yang telah berkontribusi untuk perkembangan Sumatra sebelum perang adalah nama nama jalan! Sebelum 1942, banyak jalan di Medan di namakan nama orang orang yang telah melakukan fungsi publik dan membedakan dalam satu cara atau cara yang lain. Oleh karena itu di tahun 1920 sudah ada Jalan Kartini dan juga Jalan Multatuli. Walaupun Multatuli telah mengkritik regime kolonial masih nama jalan di pakai sebagai nama dia. Jalan lain di namakan nama walikota yang telah menjabat seperi Mackay, nama jalan lain adalah Jalan Sultan Mahmoed Al Rasyid dan kepala suku Tionghoa Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie.

Orang-orang Tionghoa

Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie

Mungkin profile orang yang tertinggi untuk masyarakat Medan adalah pengusaha kaya raya Tjong A Fie, membedakan dirinya dengan pekerjaan filantropi. Bersaudara Tjong (1860 – 1921) dan Tjong Yong Hian (1850 – 1911) datang dari Mei Hsien, Guangdong, China. Walaupun industri perkebunan di kuasai oleh Belanda, pengaruh Tjong A Fie jangan di salah tafsirkan. Setelah Tjong Yong Hian meninggal di tahun 1911, Tjong A Fie adalah pengganti abangnya sebagai Major dan ia menjadi representatief tertinggi buat masyarakat Tionghoa di Sumatra Timur.

Bersama dengan ditunjuknya Tjong A Fie sebagai opsir Tionghoa ia mendapatkan hak istimewa dalam perdagangan. Di sekitar tahun 1900 menurut beberapa sumbur, Tjong A Fie memiliki kira kira 75% dari perumahan yang tumbuh pesat di kota Medan. Hampir seluruh kota Tebing Tinggi yang baru di bangun adalah milik Tjong A Fie. (SP 13-9-1916; Deli Courant (DC) 4-2-1921; Kühr 1921: 3-5;  De Bruin 1918: 45, 109, 111; Bool 1903: 6; Buiskool 1999: 23-28, 32, 68, 74, 76). Bersaudara Tjong pernah menduduki jabatan sebagai opsir Tionghoa, jabatan ini adalah resmi mewakili golongan Tionghoa di daerah Deli . Pemerintahan Hindia Belanda menunjuk opsir dari pangkat letnan sampai major. Mereka dipilih karena mereka adalah orang orang yang sukses dan mendapat penghormatan dan status didalam kommunitas mereka. Terima kasih untuk fasilitas yang diberikan pemerintah, bersaudara Tjong telah berhasil membangun keuntungan yang amat besar dalam usaha real estate, hotels, bank dan perkebunan sawit dan pabrik gula. Bahkan mereka mempunyai  rel kereta api di Cina Selatan.

Sampai di tahun 1918 pemerintah Hindia Belanda menjual monopoli kepada orang orang yang menawar paling tinggi. Kebanyakan kepada orang Tionghoa pengusaha kaya.

Tjong A Fie mendapatkan monopoli opium yang membawa banyak keuntungan.

Sebagai opsir Tionghoa mereka tau sebelumnya rencana tentang pengembangan kota Medan. Dan mereka membeli tanah dan membangun ruko ruko ala Tionghoa. Di tahun 1886 mereka membangun pasar daging dan setahun kemudian tahun 1887 membangun pasar ikan. Dan tahun 1906 mereka membangun pasar menjual sayur sayur an.

Keuntungan dari pasar pasar ini disimpan di yayasan Tjie On Djie Jan. Dari yayasan ini bersaudara Tjong membiayai pembanguna rumah sakit Tionghoa Tjie On Djie Jan di Medan. (M.v.O. Mackay 1933: 106-109; SP 10-9-1918, 25-9-1918)

Di tahun 1908 Tjong A Fie membeli perkebunan yang pertama. Di tahun 1919 ia hampir memiliki dua puluh perkebunan. Untuk urusan administrasi perkebunannya ia memakai seorang Belanda yang bernama Kamerlingh Onnes. Tjong A Fie membedakan dirinya sebagai seorang filantropi. Ia membiayai sekolah, jembatan, kelenteng, mesjid dan rumah sakit di Sumatra, Malaysia dan China. Jam dan menara yang ada di atas gedung Balai Kota adalah pemberian Tjong A Fie di tahun 1912. Menurut sumber sumber ia membiayai sepertiga dari jumlah biaya dalam pembangunan Mesjid Raya di Medan. (M.v.O. Mackay 1933: 145,179; Chang 1984: 62, 65; Lim 1964: 146-152; Khoo 1993: 105; Andalas 1-8, 5-10, 16-11-1918) Dari kekayaan nya yang luar biasa dan kegiatan philantropi, Tjong A Fie menjadi figur legenda semasa hidupnya.

Pendapat mengenai Tjong A Fie dan pendapat dari etnis lain adalah berbeda beda. Di tahun 1904 van den Brand menyelenggarakan pertemuan pribadi dengan menteri kolonial, Idenburg, di Den Haag, Belanda tentang masalah penyiksaan kuli kuli di Deli.

Ia menulis amat positif mengenai bersaudara Tjong dan juga mengenai  orang Tionghoa yang lain Khoe Tjin Tek. Van den Brand berpendapat bahwa mereka ini adalah orang orang yang pandai dan mempunyai moral yang baik. Sedangkan mengenai opsir Tionghoa lainnya, ia berpendapat tidak competent. Ia menulis ini berdasarkan pengalamannya selama perkara dengan kuli dan opsir Tionghoa dipanggil untuk mendengarkan pendapat mereka. (Letter van den Brand 29-3-1904)

Di tahun 1915 misionaris Amerika W.T. Ward mempublikasikan bukunya yang berjudul Sunlight and shadow of missionary life (Terang Matahari dan bayangan hidup misionaris). Bapak Ward membangun sekolah Methodist. Ia berterima kasih karena major Tjong A Fie dan mr. van den Brand kedua duanya telah membantunya untuk mendirikan sekolah. (Ward 1915)

Gubernur van der Plas dari Sumatra Timur menulis pesan rahasia untuk memohon penghargaan dari kerajaan Belanda dari Gubernur Jenderal di Bogor: ”Sesuai yang diketahui yang Mulia, saya menganggap Tjong A Fie sebagai seseorang yang luar biasa diantara nama nama yang penting di seluruh Hindia Belanda. Dengan kapasitas yang ada dalam pikiran dan hatinya dan kemampuannya yang istimewa, jika ia seorang Belanda, setiap posisi dan fungsi akan dapat ia capai.”(Mailrapport van der Plas)

Surat khabar China Sin Po menggambarkan Tjong A Fie sebagai orang yang sangat sederhana dan sangat tidak pantas dibandingkan dengan kondisi keuangan yang dimilikinya yang berasal dari judi dan opium. Sin Po: “Wilayah perkebunan juga berasal dari uang dari judi dan opium, yang berkaitan dengan kehidupan para kuli perkebunan. Apakah uang itu bersumber dari yang tidak baik? Atau Tjong A Fie merasa kurang dibandingkan dengan pemerintah Hindia Belanda yang memperoleh jutaan gulden dari hasil perkebunan,  diluar dari perjudian dan perdagangan opium yang dimonopoili oleh Tjong A Fie. Perbedaanya ialah Tjong A Fie tidak memandang sisi moral sebagai mana  orang Eropah, yang bersifat munafik, dimana Tjong A Fie secara jujur tidak menganggap kegiatan yang dilakukannya melanggar etika bisnis. Orang Eropah mengenal moral akan tetapi mengabaikanya dan bersifat munafik! Bila mana ada membutuhkannya, ia memberi bantuan. Ia juga membangun rumah sakit bagi orang tua yang miskin dan sakit sakitan. Ia juga penyandang dana bagi pembangunan rumah sakit lepra dan juga membantu orang orang Cina yang membutuhkan bantuan. Bialamana masyarakat Tionghoa membutuhkan sekolah Tjong A Fie bersedia membantu. Seperti yang telah dilakukannya dalam pembangunan rumah yatim piatu bagi orang orang Eropah yang miskin. Dananya semua berasal dari Tjong A Fie. Ia senantiasa berifat pemurah. Ketika pemerintahan kota, membutuhkan jembatan, ia juga membiayainya. Sifat yang dimiliknya sangat berbeda dengan sifat sifat yang dimiliki oleh orang orang kaya yang ada diperkotaan.“ (Andalas 14-8-1917)

Pada bulan Desember tahun 1919 anggota volksraad (dewan masyarakat) di Batavia (Jakarta) Tionghoa, Bapak Kan, menyampaikan pidato yang berisi kritik terhadap perjudian, penggunaan opium, dan pelacuran di perkebunan yang berakibat penghancuran generasi muda, dan rusaknya mental para pekerja perkebunan. Ia mengatakan dalam limapuluh tahun, penghasilan terbesar di Sumatera Timur bersal dari industri perkebunan. Ada satu sisi negatifnya. Dan ini bukanlah kasus pertama yang dialami oleh kuli perkebunan yang harus memperoleh sanksi hukum, atau yang mereka sebut dengan perbudakan tersembunyi. Menurut Kan ada beberapa alasan dari kuli ordinansi, yang berakibat banyak kuli berhenti bekerja karena tidak adanya insentif. Ketiadaan musim dingin yang membuat pekerja berleha leha. Kritiknya yang paling utama ialah mengenai kemunduran generasi dan praktek pelacuran. Begitu seringnya, suami suami bertindak sebagai pelaku yang menjual isteri isteri mereka kepada kuli kuli yang lain. Pemerintah harus merubah sistem pembayaran dengan perjudian dan opium. Kan menyatakan bahwa Tjong A Fie untuk dapat lebih memberikan sesuatu yang bersifat hiburan dari pada perjudian. Disamping itu Kan juga memperlihatkan contoh yang baik dari Tjong A Fie dimana gaji pekerja diperkebunannya dibayar lebih baik. Mengapa perusahaan perkebunan yang lain tidak meniru hal yan baik ini? (SP 4-12-1919)

Karena kedudukannya yang berseberangan dengan poenale sanctie (sanksi hukum), Tjong A Fie tidak diundang untuk pembentukan komisi bagi sanksi hukum, walaupun ia memiliki sesuatu yang sangat istimewa (sebagai pemegang saham terbesar) di duapuluh tiga perusahaan perkebunan di Panati Timur Sumatera. Majalah De Indische Gids menulis:  “Apakah yang menyebabkan superintendentnya, Tuan Kamerlingh Onnes, berusaha mencoba pada salah satu perkebunannya untuk memberikan kepada semua kuli sebanyak 5 persen dari keuntungan, yang sama jumlah yang diterima oleh para asisten dan manager? Kamerlingh juga mencoba para asisten dari Ambon, yang tidak memperoleh pengasilan yang sama dengan orang Eropah, tapi masih memperoleh bahagian sebanyak sepuluh kali lipat. Hal ini mengakibat Kamerlingh Onnes dan Tjong A Fie menjadi tidak popular dengan pemilik perkebunan yang berkaitan dengan sanksi hukum.” Penulis mengakhiri artikelnya dengan: “Lanjutkan terus Tuan K.O.! Kamulah yang akan memperoleh kemenangan, dan bukan lawanmu!” (Indische Gids 1919 I: 648)

A.G. De Bruin, seorang penasehat pemerintah yang mengurusi masyarakat Tionghoa di Sumatera Timur menulis tentang Tjong A Fie bahwa suatu saat sejarah mengenai Tanah Deli yang ditulis secara keseluruhan dimana peranan Tjong A Fie tidak dapat diremehkan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 12-12-1920). Pada jaman sebelum perang Jalan Bogor diberi nama Tjong Yong Hian straat dan Jalan Cakra diberi nama Jalan Tjong A Fie. (Loderichs-Buiskool 1997:101, 102)

Khoe Tjin Tek

Sebagai orang awam,dan bukan sebagai anggota dewan kota yang menjadi terkenal sebagai major Khoe Tjin Tek (1876-1969), sebagai penerus Tjong A Fie. Ia juga aktif berkecimpung dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan bagi masyarakat Tionghoa secara umum, dan turutmembantu Kamar Dagang Tionghoa. Meskipun profilnya tidak sepopuler Tjong A Fie, tapi pada kedudukannya sebagai major pada saat itu, ia telah memperoleh keberuntungan dengan memiliki  perusaaan perdagangan kayu dan pembanguan perumahan. Bank dari Khoe Tin Tek bernama Chung  Hwa Shang Yeh bank dan menjadi salah bank terkemuka di pusat kota. Seperti halnya Tjong bersaudara, Khoe Tjin Tek juga juga berinvestasi dalam monopoli semacam perdagangan yang bersifat perjudian. Khoe Tjin Tek sebagai major yang terakhir; yang fungsinya berakhir setelah invasi Jepang pada tahun 1942. (Vleming 1926: 230; Lim 1964: 146-152; Wright  1909: 581; Persoonlijkheden 1938)

Tan Tang Ho dan Tan Boen An

Tan Tang Ho (1860-1918) sebagai pengusaha Tionghoa adalah pemilik department store Seng Hap, yang menjadi terkenal di Pantai Timur Sumatera. Tan Tang Ho adalah anggota kamar dagang Tionghoa bersama Khoe Tjin Tek. Kemudian ia juga aktif dalam perkumpulan Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwe Koan yang mengurusi masalah pendidikan di Indoesia. Perusahaan Seng Hap didirikan pada tahun 1881 yang ciri bangunannya seperti pilar pilar jaman Romawi yang masih eksis di daerah Kesawan (Jalan A. Yani) dibangun di tahun 1900. Pada tahun 1918 Tan Tang Ho meninggal dunia dan dilanjutkan oleh anak lelakinya yang bernama Tan Boen An (1890-1946) sebagai direktur yang baru. Tan Boen An juga mulai aktif dalam bidang politik di tahun 1918 setelah pengunduran diri Tjong A Fie, dan terpilih sebagai anggota dewan kota yang mewakili masyarakat Tionghoa. (SP 16-7-1918) Tan Boen An kemudian melakukan lobi bagi penghapusan ricksjaw di Medan. (Wright 1909: 581,582; DC 24-3-1900)

Chang Pu Ching

Seorang konsul republik China dan merupakan putera dari Tjong Yong Hian, generasi kedua dari keluarga Tjong. Ia menjadi tokoh utama dalam di masyarakat kota Medan. Chang Pu Ching menjabat sebagai direktur umum yang membawahi perusahaan kereta Api Swatow, kepala di sekolah Ching Shi, dan salah seorang pendiri sekolah menengah pertama Su Tung. Ia juga terlibat dalam bidang  perumahan dan perkebunan melalui perusahaannya yang bernama, Chong Lee & Co. Ia diangkat sebagai konsul untuk republik China di tahun 1915 hingga tahun 1930. (SP 11-12-1915, 26-2-1930; Feldwick 1917: 1196)

Hiu Ngi Fen

Juga berasal dari generasi yang lebih muda ialah Hiu Ngi Fen (1902-1977), yang tiba di Medan dari China ketika masih berusia empat belas tahun. Ia mendirikan perusahaan dagang sendiri bernama Hiu Ngi Fen Trading Company. Usahanya berkembang dengan baik; pada saat yang sama ia juga memproduksi anggur obat dengan merek Anggur Obat Cap Bulan. Pada tahun 1939 Hiu Ngi Fen mendirikan usaha farmasi yaitu Apotik Moon. Melalui kontak bisnisya yang banyak,di tahun tigapuluhan Hiu Ngi Fen bertemu dengan ketua dari Chinese Benevolent Association Asia Tenggara (Organisasi Kebajikan bagi Masyarakat China Asia Tenggara), yang bergelar raja karet bernama Tan Kah Kee dari Singapura. Ia juga bertemu dengan konglomerat besar China, Aw Boon Haw dari Singapura pemilik usaha Tiger Balm (Balsem Cap Harimau). (The Tiger Balm King ialah nama gelaran Aw Boon Haw ang dikaitkan dengan usaha bisnisnya yang meluas yaitu Tiger Balm Industry). Rubber king ( Raja karet) nama gelaran untuk Tan Kah Kee ini berkaitan dengan perusahaan karetnya yang besar di British Malaya (sekarang Malaysia). (Yong 1992: 63) Selaku perwakilan dari Benevolent Organization (Organisasi Kebajikan) di Pantai Timur Sumatera Tan Kah Kee mengangkat Hiu Ngi Fen sebagai ketua di tahun 1935 yang ia jalani sampai datang invasi Jepang di tahun 1942. Organisasi yang terakhir ini berhubungan dengan Kamar Dagang Tionghoa Medan. Selama kepemimpinan Hiu Ngi Fen, pada tahun 1938 dibangun sebuah rumah jompo untuk orang Chia miskin yang tidak memiliki rumah. Sebahagian dananya berasal dari Aw Boon Haw dan saudaranya  Aw Boon Par. Dari tahun 1935-1942 Hiu Ngi Fen menjadi ketua Asosiasi Kebajikan China Perantauan (Tolong Menolong Untuk Dana Hari Depan) di Sumatera Utara, Sekolah Menengah Soe Tong (1935-1941) dan juga ketua bagi Asosiasi Pengumpulan Dana China Perantauan untuk membantu Republik China semasa perang antara China dan Jepang. (Sumatra Bin Pho 18-1-1941).

Thio Siong Soe

Seorang pebisnis Tionghoa yang juga turut memberikan kontribusinya bagi kota Medan ialah Thio Siong Soe, (1890-1967). Bersama sama dengan Lee Khong Chian, ia mendirikan pabrik getah Hocklee yang masih berjalan sampai sekarang. Ia juga aktif berkecimpung dalam Kamar Dagang Tionghoa Medan, dan juga sebagai anggota dewan pengurus dari Sekolah Menengah Su Tung (Lim 1964: 146-152)

Anggota-anggota dewan kota Tionghoa

Bersama sama dengan Tjong A Fie, yang menjadi anggota dewan kota ialah Tan Boen An, Gan Hoat Soei, Jap Soen Tjai, Liem King Hie dan Jap Gim Sek.

Orang-orang Indonesia

Sultan Mahmoed Perkasa Alam Shah dari Deli

Sultan Mahmoed Perkasa Alam Shah dari Deli mengundang Jacob Nienuys datang ke tanah Deli untuk menanam tembakau. Sultan menyediakan yang terletak dekat muara sungai Deli di sebelah selatan Labuhan Deli. Sebelum masa perang Jalan Surik Menari diberi nama Jalan Sultan Mahmoed. (Loderichs – Buiskool 1997: 9, 101,102)

Mansoer

Dr.Tengku Mansoer (1897-1953), memperoleh pendidikan di Belanda yang bertugas sebagai dokter di rumah sakit Katholik Elizabeth, dan juga sebagai anggota dewan kota di tahun tiga puluhan. (SP 27-2, 19-12-1933). Ia sangat dihargai dimata orang Indonesia, Tionghoa dan Belanda atas prestasinya di bidang kedokteran. Pada tahun 1938 ia mendirikan Persatoan Sumatera Timur yang memperoleh dukungan kuat dari penduduk Melayu dan Batak. Pada tahun 1948, ia menjadi president pertama republik federal Sumatera Timur yang kemudian dileburkan pada tahun 1950. (Loderichs – Buiskool  1997:  84, 85) Seusai perang sebuah jalan di Medan diberi nama Jalan Dr. Mansoer yang terdapat sampai sekarang ini.

Pirngadi

Ia adalah seorang dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah. Pada harian Sumatra Post yang terbit pada bulan April 1933, sebuah surat yang ditulis oleh L.H. van den Ende menyatakan terima kasihnya kepada Pirngadi, seorang doker pemerintah yang telah merawat isterinya sewaktu menderita sakit keras dengan penuh perhatian dan sangat profesional dalam menjalankan tugasnya. (SP 18-4-1933)

Radja Goenoeng

Seorang Indonesia yang menjadi anggota dewan kota mulai tahun 1918 dan seterusnya. (Andalas, 4-7-1918; Gemeenteblad 18-11-1920, no.2))

Moehammad Syaaf

Dr. Moehamad Sjaaf juga seorang Indonesia yang terpilih menjadi anggota dewan kota dari tahun 1918 dan seterusnya (Andalas, 4-7-1918)

Abdullah Loebis

Ia juga orang Indonesia yang terpilih menjadi anggota dewan kota pada tahun dua puluhan. Ia sangat gigih dalam membela kepentingan penduduk Indonesia. Pada tahun 1922 Abdullah Loebis dan Raja Goenoeng menyampaikan keluhannya atas diskriminasi yang diterima penduduk Indonesia. (Gemeenteblad 18-11-1920, no. 20; 31-10-1922). Seusai perang sebuah jalan ditabalkan dengan nama Jalan Abdulah Loebis.

Nainggolan

Dr. F.J. Nainggolan anggota dewan kota yang sangat istimewa karena kepedulian sosialnya. Pada suatu rapat dewan kota pada tanggal 18 Juli, 1935 ia menyampaikan permohonannya untuk menurunkan harga sewa bagi para pedagang kecil yang berniaga di pusat pasar. (SP 18-7-1935)

Sitompoel, Abdul Hakim, Parapat dan Djamaloeddin

Mereka adalah orang orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota dewan kota. (SP 1-6-1933, 21-4-1933, 8-12-1934, 3-2-1936)

Orang-orang Belanda

Nienhuys

Akibat pesatnya perkembangan di Tanah Deli juga seiring dengan pesatnya kemajuan industri perkebunan. Jacob Nienhuys (1836-1928), putera seorang pedagang tembakau tiba di Sumatera pada taun 1863. Ia diminta oleh seorang Arab yang bernama Said Abdullah Bilsagih yang berusaha menarik para investor Belanda untuk datang ke Deli. Ia menjelaskan kepada Nienhuys penduduk setempat menanam lada dan tembakau, dan para investor juga dapat menanam tembakau.(Schadee 1918, I: 171) Nienhuys yang tiba di Laboehan tahun 1863 memperoleh izin dari Sultan Mahmoed Perkasa Alam Shah untuk memulai penanaman tembakau, persis di muara sungai Deli yang terletak di sebelah selatan Laboehan. Panen perdana yang dikirim ke Belanda hasilnya sangat menjanjikan sebagai produk tembakau yang berkualitas tinggi. Selanjutnya Nienhuys mendapatkan lampu hijau untuk menanamkan modalnya lebih banyak lagi. Tanaman tembakau tumbuh dengan subur dan sangat cepat memperoleh keberhasilan yang memacu semakin banyaknya perkebunan yang muncul. Pada tahun 1869 Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij (Deli Maskapai), bersama sama dengan G. Clemen dan P.W. Janssen. Nienhuys kembali ke negerinya di tahun 1871. (Volker: 39) Sebelum masa perang Jalan Pulau Pinang  diberi nama Jalan Nienhuys. (Loderichs – Buiskool 1997: 101,102)

Cremer

Pada tahun 1871 Jacob Theodoor Cremer (1847-1923) yang bekerja di Nederlandsche Handel Maatschappij (Maskapai Pedagang Belanda) menggantikan Nienhuys yang pulang ke Eropah. Cremer masih berusia 24 tahun pada saat ia memperluas perusahaannya. Sebagai manager Deli Maskapai, Cremer juga  melakukan kerjasama yang erat dengan perusahaan perkebunan lainnya. Kantor pusat Deli Maskapai yang baru, dibangun dikawasan kampung yang kecil dipertemuan antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Di tempat inilah awal dari perkembangan kota Medan. Sebuah rumah sakit dibangun dekat kantor Deli Maskapai pada tahun l870. Rumah sakit ini sangat begitu penting karena kuli asal China yang memasuki tanah Deli sebanyak 900 orang di tahun 1869, jumlah yang meninggal dunaia pada bulan July 1870 mencapai 213 orang. (Schadee 1918, I: 183) Cremer mempercepat pendirian perkebunan yang lainnya. Ia memandang mereka sebagai partner dalam mengembangkan pasar untuk tembakau Deli. Cremer juga membuat Deli Planters Vereeniging (Asosiasi Perkebunan Tanah Deli) untuk memudahkan koordinasi dan kerjasama dengan seluruh perusahaan lainnya. Asosiasi Perkebunan Tanah Deli juga terlibat dengan masalah masalah kependudukan kota Medan dan distrik Tanah Deli. Pada tahun 1882 Asosiasi Perkebunan Tanah Deli menghubungi kebun botani di Buitenzorg (Bogor) Pulau Jawa untuk melakukan penelitian terhadap bibit tembakau yang terserang penyakit. Dan hasilnya sebuah stasiun penelitian dibangun bagi keperluan tembakau di Tanah Deli (Schadee 1918, II: 225, 226). Pada tahun 1924 Asosiasi Perkebunan Tanah Deli membuka kantornya yang baru pada tahun 1924 di Boolweg (sekarang Jalan Puteri Hijau) berikut patung dari J.Th. Cremer yang terletak di depan kantor. Patungnya dibongkar pada tahun lima puluhan. Disamping menjalankan usaha perkebunan, Cremer juga mendirikan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) atau Jawatan Kereta Api Tanah Deli degan membangun jalan kereta api Belawan dan Medan pada tahun 1883. Cremer juga sebagai salah satu arsitek dari yang membuat poenale sanctie (sanksi hukum). Ia adalah seorang organisator besar dan manager terbaik bagi Deli Maatschappij yang memulai dengan cepat pembangunan industri perkebunan. Semua ini memicu bagi lajunya perkembangan Tanah Deli, pembangunan kota Medan, dan sarana pendukungnya-secara umum inilah sejarah daerah Pantai Sumatera dan perkebunannya. Sebaliknya hal itu juga mendatangkan kesewenang wenangan terhadap para kuli. Dan gambaran negatif Tanah Deli diterangkan dalam brosur van den Brand De millioenen uit Deli. Sejauh mana kita menilai sumbangihnya yang bernilai positif? Selalu ada dua sisi pada dirinya, disamping sebagai seorang organisator yang hebat, ia juga bertindak sangat keras. Yang sangat menarik dalam kontek ini adalah sebuah artikel yang ditulisnya tahun 1906 ketika ia dan isterinya berkendara di jalan raya yang baru dibuka, dan sebahagiannya masih dalam taraf pembangunan yaitu jalan menuju dataran tinggi Karo, dan Toba. Cremer menulis: “Jalan dibangun oleh tenaga buruh paksa yang tidak dibayar. Meskipun pembukaan jalan memberikan hal positif bagi daerah itu dan penduduknya..alangkah baiknya jika para buruh yang membangun jalan di bayar upahnya dengan pantas.., bekerja tanpa upah adalah sangat wajar.” (Cremer, 1906) Sebelum masa perang  Jalan Balai Kota diberi nama Jalan Cremer. (Loderichs- Buiskool 1997: 101,102)

Kuenen

Dr. Kuenen yang bertugas sebagai dokter pada bahagian laboratorium pathology. Ia menjadi anggota dewan kota  tahun 1912. (Sp 3-8-1912) Yang sangat menarik dimana pada ahun 1912 banyak penduduk Straits Settlements (Malaysia) datang ke Medan untuk mendapatkan perobatan, yang mana pelayanan yang diberikan sangat superior seperti yang terdapat pada harian Straits Settlements (SP 9-1-1912). Sebelum perang Jalan KH Dahlan memiliki nama Jalan Dr. Kuenen. (Loderichs – Buiskool 1997: 101,102; De Bruin 1918: 83)

Hallermann

Orang Jerman Jozeph Hallermann adalah seorang planter di Sumatra. Di tahun 1890-an ia tinggal di Medan dan tahun 1898 mendirikan koran De Sumatra Post yang menjadi suatu koran tiap hari. Koran yang lain, De Deli Courant, telah dimulai tahun 1885 dan terbit dua kali per minggu. De Sumatra Post adalah terkenal sebagai koran yang independen dan lebih progressif daripada De Deli Courant. Editor pertama dari De Sumatra Post adalah pengacara van den Brand dan diikuti oleh K. Wybrands. Di tahun 1914 Hallermann pulang ke Jerman. Perusahan penerbitnya dengan De Sumatra Post telah dibeli oleh A.P. Varekamp. (De Sumatra Post 1898-1923)

Wybrands

Journalis K. Wybrands mengikuti van den Brand sebagai kepala editor dari De Sumatra Post. Dalam kontribusinya yang pertama di tahun 1899 ia menulis : ”Saya akan selalu sejauh saya bisa selalu akan berjuang untuk yang bagus, benar dan indah, tanpa membedakan orang orang.” (SP 3-8-1899)

Walikota- walikota berbangsaan Belanda dari Medan

Dari tahun 1918 sampai 1942 ada terdapat empat walikota kebangsaan Belanda di Medan. Kesan umum tentang walikota walikota ini adalah kecakapan mereka dan dedikasi. Saya tidak menjumpai kasus korupsi atau cerita negatif di sumber sumber.

Mackay

Daniel Baron Mackay (1878–1962) adalah walikota dari Medan dari tahun 1918 sampai  1931. Dari laporan dewan dan sumber sumber lain kita mendapatkan kesan yang positif tentang ia. Ia selalu menekankan bahwa dewan kota harus berjuang untuk kerjasama yang optimal diantar semua anggota. (Gemeenteblad 31-10-1962). Sebelum perang Jl. Walikota disebut Jalan Mackay (Loderichs – Buiskool 1997: 101, 102)

Wesselink

J.M. Wesselink pengganti Mackay sebagai walikota di tahun 1931. Ia menjabat hanya empat tahun sampai tahun 1935. Karena di tahun yang sama ia di tunjuk menjadi walikota Bandung. Dari dewan kota kita mendapat kesan bahwa ia berlaku profesionalis selama menjadi ketua dewan kota. (SP 21-4-1933, 27-7-1933; Loderichs – Buiskool  1997: 24)

Pitlo

G. Pitlo adalah walikota Medan selama periode 1935-1938. Seperti Wesselink hasil karya dia di laporan dewan kota adalah sangat kompeten. (SP 28-3-1935; 23-10-1938;  Loderichs – Buiskool 1997: 24)

Kuntze

Walikota berkebangsaan Belanda di Medan yang terachir adalah C.E.E. Kuntze periode 1938-1941. Seperti pendahulunya ia juga mencoba untuk memerintah kotamadya dengan cara bekerja sama dan setia. Kita juga mendapatkan kesan yang positif di berbagai sumber. (SP 23-10-1938;  Loderichs – Buiskool 1997: 24)

Gubernur- gubernur Sumatra Timur

Van der Plas

Pada 4 Juli 1917 gubernur van der Plas dan instrinya meninggalkan Medan. Banyak perhatian dari berbagai media cetak dengan banyak kata kata pujian akan perginya Pak Gubernur. Ini ditulis oleh koran Andalas berbahasa Tionghoa/Melayu. (Andalas 5-7-1917) Sebelum perang Jl. Kalingga di sebut Jl. Van der Plas. (Loderichs – Buiskool 1997: 101, 102)

Westenenk

Gubernur Louis Constant Westenenk (1872-1930) ditunjuk menjadi Gubernur Sumatra Timur di tahun 1920. Setelah kuliahnya mengenai Indologie selesai di Delft, di tahun 1892 ia memulai karirnya sebagai pejabat negara di Borneo. Disamping karirnya sebagai pejabat negara, ia mempelajari mengenai adat lokal. Di tahun 1894 ia menerbitkan uku mengenai suku Dayak dan di tahun 1922 ia menerbitkan buku yang berjudul Bahasa Rencong dari orang Kerinci. Bukunya yang paling terkenal adalah bernama Waar Mensch en Tijger Buren zijn (Dimana Manusia dan Harimau adalah Bertetangga). Publikasi buku ini menceritakan mengenai kesan yang amat menkajubkan mengenai legenda dan kepercayaan orang orang dari Sumatra. Untuk memberikan kutipan pendek dari buku ini: ”Juga yang paling besar, dia di dalam rimba yang tidak pernah menybutkan namanya, karena hal ini dapat membuat dia marah: sebab orang orang harus menghormati yang Paling Tua, yang ada dimuka bumi karena ada hubungan yang dekat diantara jiwa manusia dan Dia, Bapak yang Besar, Nenek Moyang, Yang Bergaris Loreng, Yang Berbintik Bintik….”  (Westenenk 1928: 54). Publikasi Westenenk yang lain berjudul Het Rijk van Bittertong (Kerajaan Lidahpahit) SP (7-1-1933) Sebelum perang Jl. Candi Borobudur disebut Jl. Westenenk. (Loderichs – Buiskool 1997: 101, 102)

Ezerman

H.E.K. Ezerman, (1844-1967) adalah seorang asisten residen di Pematang Siantar dan gubernur Sumatra Timur dari tahun 1930 sampai di 1933. Pada saat Gubernur Ezerman meninggalkan Sumatra, ribuan orang dari berbagai suku memberikan ucapan selamat jalan kepadanya. Pemerintahannya dipuji bukan saja oleh pemerinta Belanda tetapi juga dari pimpinan orang Indonesia, seperti Sibajak dari Lingga (SP 19-8-1930, 26-6-1933,  5-7-1933). Ezerman adalah seorang yang rendah hati dengan kecakan yang tinggi. Dia mempunyai reputasi yang bagus sebagai asisten resident dan terakhir sebagai seorang gubernur. (Coolhaas 1985: 189, 217; Buiskool 1999: 243)

Anggota – anggota dewan kota Belanda

Van den Brand (18..-1921)

Pengacara J. van den Brand adalah seorang profil tinggi di masyarakat kota Medan. Dia adalah salah satu dari beberapa pengacara di kota Medan pada masa itu, dia juga kepala editor dari surat khabar Sumatra Post yang baru didirikan tahun 1898. Beberapa tahun kemudian menjadi anggota dewan kota dari partai politiknya sendiri dan dari tahun 1918 menjadi anggota dari dewan rakyat di Batavia. Jika dia pergi atau kembali dari luar kota, maka beritanya akan dipublikasikan disetiap surat khabar seperti yang terjadi pada tanggal 10 February 1899 pada saat dia baru kembali dari Singapore. (SP 10-2-1899, 21-6-1899). Buku tahunan untuk Deli diterbitkan oleh van den Brand. Buku ini diperuntukkan untuk setiap orang yang tinggal di Sumatra Timur atau yang tertarik dengan daerah ini. Pada saat itu bisa dipesan melalui penerbit J. Hallermann dari Sumatra Post (SP 24-5-1899). Van den Brand menulis banyak artiket tentang persoalan – persoalan yang berbeda. Sebagai contoh, dia menulis tentang kunjungannya ke Malacca dan berkurangnya pengaruh Belanda disana (SP 21-7-1899). Di artikel yang lain dia menulis tentang hak setiap orang untuk mendapatkan pemakaman yang layak sesuai dengan keinginan dan agamanya. Van den Brand menunjukkan tentang keputusan pemerintah lokal yang mana tiap buruh harus dapat pemakaman yang layak. Karena itu tidak dilakukan oleh setiap perkebunan ia menulis tentang hal itu. (SP 22-6-1899). Di tahun 1902 van den Brand menjadi seorang tokoh nasional setelah terbit bukunya De millioenen uit Deli tentang penganiayaan kuli kuli di Deli. Setahun kemudian dia mengadakan pertemuan pribadi dengan menteri koloni Idenburg tentang hal ini. (surat van den Brand). Di tahun 1912 van den Brand dipilih sebagai anggota dari dewan kota dan mendirikan grup politik Gemeentebelangen (Kepentingan kotamadya). Van den Brand mempunyai banyak pandangan publik, seperti contoh di Kamar Dagang dan Industri Medan, berbicara tentang kebijkan pangan (SP 30-3-1915). Di tahun 1915 di dalam dewan dia diskusi tentang pajak dan untuk apa sebagian besar penduduk Indonesia membayar pajak. Sejak tidak ada catatan sipil dan informasi populasi, itu tidak mungkin untuk meminta pajak dari orang lokal (SP 2-9-1915). Di tahun 1919 van den Brand pindah ke Batavia (Jakarta) dimana dia terpilih sebagai anggota dari Volksraad (dewan rakyat). Dua tahun kemudian dia meninggal di Batavia (Jakarta). Banyak artikel-artikel dalam kolom dalam kenangan yang terbit di korang – koran pada saat dia meninggal.

De Waard

Kami juga mendapat banyak kesan positif dari wethouder (anggota dewan yang sehari hari menyusun undang undang) di bidang keuangan de Waard, seorang anggota dewan untuk partai sosialis sejak tahun 1920. Dia selalu menekan proyek-proyek sosial dari kotamadya, tetapi masalahnya adalah minimnya dana dari kotamadya. Dia berhenti dari anggota keuangan kotapraja dan dewan kota pada tahun 1933 (Gemeenteblad 31-10-1922, 21-4-1933).

Groenewegen

Arsitek Groenewegen, seorang anggota dewan kota yang lain. Dia selalu menekankan pentingnya kerjasama dan atmosfir yang baik dalam dewan kota, sehingga dengan begitu akan akan lebih berhasil (SP 21-4-1933). Groenewegen merancang banyak gedung-gedung kepentingan umum di Medan. Dia merancang rumah sakit Saint Elisabeth, sekolah Princes Beatrix (sekarang sekolah Immanuel), sekolah Tionghoa – Belanda di jalan Hakka (sekarang Jl. Nusantara) dan juga kolam renang. Setelah perang dia bekerjasama dengan arsitek Indonesia Silaban dan merancang gedung-gedung yang lain, seperti Mesjid Istiqlal di Jakarta. (Segaar-Höweler 1998: 82)

Eylander

J. Eylander dari tahun 1916 sampai di 1933 adalah pimpinan dari departemen bangunan dan rumah di Kotamadya. Dia bekerja keras untuk perkembangan kampung-kampung dan mengawasi rumah-rumah dan bangunan. Ketika dia berhenti ditahun 1933, dia banyak mendapat banyak pujian dari seluruh orang Eropa dan warga pribumi di departemennya. (SP 10-3, 1-6-, 9-6-1933)

Van den Bergh

Ketika seorang wethouder di bidang keuangan yaitu van den Bergh meninggalkan Medan berangkat ke Batavia (Jakarta) ditahun 1941, dia banyak mendapat pujian dari anggota dewan kota yang lain. Van den Bergh menjadi anggota kotapraja sejak 1937 sampai di 1941, sebelumnya dia adalah seorang editor dan kepala editor dari koran Deli Courant. Dia bekerja untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat agar proyek umum seperti pusat pasar bisa dibayar dan biaya pembangun instalasi riol. Anggota dewan Klevant berbicara penuh pujian untuk van den Bergh dan anggota Soeleiman dalam bahasa Malayu, juga memuji van den Bergh. Juga anggota van der Lee dan Jap Gim Sek berbicara positief  mengenai dia. Setelah itu van den Bergh berbicara dan dia mengatakan setelah 1918 baru adalah memulai arah ke demokrasi sebab ada anggota dewan kota terpilih dari beberapa suku etnis. Dia memuji anggota kollega pendahulu De Waard dan Schoorl dan mengatakan selalu ada kerja sama yang baik didalam dewan. Dia memuji anggota dewan Romme dan Djamaloeddin dan pendahulunya Dr. Gindo Siregar menjadi temannya. Van den Bergh mengatakan bahwa wethouders (anggota dewan yang sehari hari menyusun undang undang) adalah orang orang yang harus mendapatkan kepercayaan dari dewan, karena itu suatu hubungan adalah penting. Mereka tidak bisa berbicara atas nama satu kelompok saja tetapi harus mewakili seluruh dewan. (SP 20-6-1941)

Penulis-penulis dan ilmuwan

Madelon Szekely Lulofs

Madelon Szekely Lulofs (1899-1958) mungkin adalah seorang pengarang paling terkenal yang menulis tentang Deli ditahun 1930-an. Setelah terbit novelnya Rubber (1933), banyak perhatian tertuju ke Deli. Novel-novel lainnya adalah Koelie, De Hongertocht, Tjoet Nja Din dan Rimboe. (Loderichs-Buiskool 1997: 33)

Ladiszlasz Szekely

Suami dari Madelon Szekely Lulofs yaitu Ladiszlasz Szekely (sekitar 1890-1946), tidak begitu terkenal, meskipun bukunya Tropic Fever (1935) lebih banyak mengulas keadaan Medan dan Deli dari buku istrinya Rubber.

Jansen

Gerard Jansen, kepala dari departemen pertanahan dari kota Medan, sangat tertarik dengan budaya dan sejarah sesama manusia, yang dia terbitkan dua buku tentang orang Indonesia, Tionghoa dan India di kota Medan. Kedua bukunya dipublikasi sekitar tahun 1940. Buku pertamanya yang berjudul Vreemde Oosterlingen (Oriental Asing), dan buku keduanya De Andere Helft. Geloof en Gebruiken van onze Oostersche Stadgenooten (Pihak yang Lain. Agama dan Budaya dari Penduduk Timur kota Medan).

De Bruin

A.G. de Bruin adalah seorang penasehat pemerintah untuk orang- orang Tionghoa di Sumatra Timur. Di tahun 1918 dia menerbitkan bukunya  De Chineezen ter Oostkust van Sumatra (Orang-orang Tionghoa di Sumatra Timur) dengan deskripsi yang luas tentang perbedaan-perbedaan etnik Tionghoa di Sumatra.

Schadee

W.H.M. Schadee adalah seorang administrator Deli Spoorweg Maatschappij atau DSM (Perusahaan Kereta Api Deli) (SP 2-10-1912). Dia terbitkan dua  jilid buku sejarah dari Sumatra Timur dengan judul Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust (Sejarah dari Sumatra Timur).

Coolhaas

W. Ph. Coolhaas (1899-1981) selesaikan studi Indology di tahun 1920 dan setelah itu berangkat ke Indonesia, dimana dia menjadi controleur (district officer) di Maluku. Dalam menulis tentang itu: ”Saya muda sekali dan tanpa pengalam tetapi saya mempunyai rasa tanggung jawab yang besar.” (Coolhaas 1985: 9) Controleur mempunyai banyak tugas; dia adalah hakim di pengadilan lokal dan langsung berhubungan dengan kepala kampung; Sultan sultan dan Radja radja. Controleur harus lapor sama assistent resident dan dia terakhir lapor sama resident. Pejabat pejabat ini telah mempersiapkan diri dengan baik dapat berbahasa lokal, mengerti hukum adat dan sistem hukum. Tahun 1921 Coolhaas pindah ke Ternate dan setelah itu ke Batjan dimana dia mendapat pertangungjawab penuh atas pemerintah kolonial. Dia paling senang disini dia menulis didalam buku kenangan, sebab paling dekat sama penduduk lokal. Publikasi publikasi pertama dia adalah tentang Batjan. Tahun 1925 dia pindah ke Semarang dan setelah itu ke Flores. Bulan Nopember 1933 dia menjadi assistent resident di Sumatra, tanah Toba dan Langkat. Sebagai ketua dewan lokal dan banyak tugas administratif dia sekarang kurang kontakt langsung dengan rakyat, akibatnya dia tidak bisa melindungi mereka dari  exploitasi oleh kepala kepala suku lokal, dia menulis dalam buku kenangan. Tentang orang Batak dia menulis: “Saya merasa perjalanan, waktu saya harus tidur di kampung kampung, paling penting untuk belajar lebih banyak tentang penduduk didalam lingkungan mereka sendiri. Waktu sudah malam tiba, semua laki laki dan diatas sepuluh tahun, datang duduk dan berbicara. Perempuan perempuan nampak tidak begitu penting. Orang orang Batak tidak begitu gembira, atau ramah, tetapi mereka suka sekali berbicara. Tentang tiap tema (topik) kami berbicara, pada umumnya tentang hal hal kepentingan untuk orang orang kampung pertanian, dan berdiskusi sampai dalam. Hampir semua, tua dan muda, memberikan pendapat dengan suara kuat dan jelas ..”. (Coolhaas 1985: 166) Waktu dia pulang untuk kedua kali ke Belanda dari 1934 sampai 1936 dia mengambil Phd (S3) dari universitas Utrecht dengan dissertasinya Het Regeerings Reglement van 1827. Het werk van 1818 aan de ervaring getoetst. (Undang undang pemerintah 1827. Pekerjaan dari 1818 diperiksa oleh pengalaman). Tahun 1939 dia kembali ke Belanda. Waktu perang dunia ke dua dia menerbitkan buku tentang Indonesia dan tahun 1945 dia kembali ke Indonesia ke Batavia (Jakarta). Satu tahun kemudian dia telah ditunjuk sebagai guru besar bahagian sejarah kolonial di Universitas Indonesia yang baru selesai di bangun. Di tahun 1947 dia menjadi penanggung jawab arsip nasional. Disini muncul pertanyaan apakah materi arsip harus dibawa ke Belanda atau tinggal di Indonesia. Menurut Coolhaas jika materi arsip akan di bawa ke Belanda harus dengan persetujuan penguasa Indonesia. Coolhaas menjadi penanggung jawab arsip nasional sampai tahun 1950. Di tahun 1965 ia menjadi professor bagian sejarah di Universitas Utrecht,  dengan thema hubungan Belanda dengan negara negara jauh. Ia meninggal di tahun 1981. Coolhaas mengenal pembatasan pegawai negeri Eropa mengenai ilmu pengetahuan, namun ia berpendapat bahwa kegiatan mereka dan keberadaaan mereka adalah sebuah anugerah untuk Indonesia. Ia adalah seorang wakil politik etis ia menjadi ilmuwan yang mempunyai nama di dunia. Ia mengharap di masa depan fakta fakta ilmu yang lebih baik akan membawa keseimbangan dalam perpendapat. Oleh karena itu ia menekankan penerbitan sumber sumber tentang Asia Tenggara. (Wikepedia Coolhaas)

Kesimpulan

Orang orang yang memberikan kontribusi yang positif buat Sumatra Timur (sekarang propinsi Sumatera Utara) jumlahnya banyak. Dari tahun 1864  Sumatra Timur berkembang amat pesat karena industri perkebunan. Ber-ribu ribu pekerja dari Cina, India dan kemudian dari Jawa di rekrut untuk bekerja di perkebuan. Akibat dari ini infrastruktur  yang lengkap dan baru di bangun seperti jembatan, jalan jalan dan jalan kereta api. Kampung kecil Medan menjadi kota yang makmur. Di penulisan sejarah bagaimana pun anggapan mengenai Tanah Deli negatif. Karena kondisi yang amat miskin dimana pekerja kebun bekerja terjadi sampai di awal abad 20. Tetapi sebagai pertimbangan untuk alasan yang telah di diskusikan seperti di atas kita mengambil kesimpulan bahwa akibat dari industri perkebunan lebih positif daripada negatif. Jika akibatnya positif seperti yang telah kita sebutkan, kita harus mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada orang orang yang berkontribusi dari Tionghoa, Indonesia dan Belanda.

Sumber-sumber

–          Bool, H.J. De Chineesche Immigratie naar Deli, 1903

–          Breman, J. Koelies, planters en koloniale politiek. Dordrecht, 1987

–          Bruin A.G. de De Chineezen ter Oostkust van Sumatra Oostkust van Sumatra Instituut, Leiden, 1918

–          Buiskool, D.A. De Reis van Harm Kamerlingh Onnes, brieven uit de Oost 1922-1923, Hilversum, Verloren, 1999

–          Chang, Queeny Memories of a nonya Singapore, 1984

–          Coolhaas, W.Ph. Controleur Binnenlands Bestuur. Herinneringen van een jong bestuursambtenaar in Nederlandsch Indië, Utrecht 1985

–          Clemens, A.H.P., Lindblad, J.Th. Het Belang van de Buitengewesten. Economische expansie en koloniale staatsvorming in de Buitengewesten van Nederlands Indië. 1870-1942. Amsterdam, 1989

–          Cremer, J.Th. in : Eigen Haard Uitgeverij der Naamlooze Vennootschap “Het Tijdschrift Eigen Haard” te Amsterdam. 33e jaargang, 20 april 1907, no. 16)

–          Feldwick, W. and W.H. Morton-Cameron Present day impressions of the Far East and prominent and progressive Chinese at home and abroad; The history, people, commerce, industries and resources of China Hongkong, Indo-China, Malaya and Netherlands India. London: The Globe Encyclopedia Company, 1917

–          Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Arendsburg Ter gelegenheid van haar vijftigjarig bestaan 1877 – 1927 Samengesteld door A. Hoynck van Papendrecht Rotterdam, 1927

–          Houben, V.J.H., Lindblad, J.T. and others Coolie Labor in Colonial Indonesia. A Study of Labor Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940. 1999 Harrassowitz Verlag – Wiesbaden

–          Jong de, J.J.P. De Waaier van het Fortuin. De Nederlanders in Azië en de Indonesische archipel 1595-1950. SDU Uitgevers, Den Haag, derde druk, oktober 2000

–          Jansen, G. Vreemde Oosterlingen, (Foreign Easterners) Uitgeverij W. van Hoeve, Deventer 1940

–          Jansen, G. De Andere Helft Geloof en Gebruiken van onze Oostersche Stadgenooten Medan 1941.

–          Khoo Su Nin, Streets of Georgetown, Penang, 1993

–          Kühr, E. Nederlandsch-Indië Oud & Nieuw. Article Tjong A Fie, 1921

–          Lim Ren Huan Tun Pun School, the earliest overseas Chinese school in Medan 1964 (translated by Hiu Kian Jin)

–          Loderichs, M.A., Buiskool, D.A. and others, Medan, beeld van een stad Asia Major, Purmerend 1997

–          Persoonlijkheden in het Koninkrijk der Nederlanden in Woord en Beeld. Nederlanders en hun werk. Amsterdam, 1938

–          Schadee W.H.M. Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, deel I en II. Oostkust van Sumatra Instituut, Amsterdam, 1918

–          Segaar – Höweler, D.C. J.M. Groenewegen (188-1980) Een Hagenaar als Indonesisch architect Bibliografiën en oeuvrelijsten van Nederlandse architecten en stedebouwkundigen (BONAS), Rotterdam, 1998

–          Székely Ladiszlasz Tropic Fever The Adventures of a Planter in Sumatra Translated by Marion Saunders, First published by Harper & Brothers 1937. With an introduction by Anthony Reid Oxford University Press 1979

–          Székely – Lulofs, Madelon H. Rubber 16e druk, 1989 – Amber – Amsterdam

–          Thee Kian-wie Plantation Agriculture and Export Growth An economic history of East Sumatra, 1863-1942, Jakarta, July 1977

–         Thee Kian Wie “The development of Sumatra, 1820-1940”. In: Maddison, A., Prince, G. Economic growth in Indonesia, 1820-1940. Dordrecht, 1989

–          Vleming, J.L. Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch Indië door den Belasting Accountants Dienst onder leiding van J.L. Vleming Landsdrukkerij – Weltevreden 1926

–          Ward, W.T. Sunlight And Shadow of Missionary Life Printed by J. Hallermann, Medan – Tebing Tinggi 1915

–          Westenenk, L.C. Waar Mensch en Tijger Buren Zijn ‘s Gravenhage 1928

–          Wikipedia, Westenenk L.C.

–          Wikipedia, Coolhaas, W. Ph.

–          Wright, Arnold and Oliver T. Breakspear Twentieth century impressions of Netherlands India; It’s history, people, commerce, industries and resources. London, Singapore: Lloyd’s Greater Britain Publishing Company, 1909

–          Yong, C.F. Chinese Leadership and Power in Colonial Singapore Times Academic Press, Singapore, 1992

Koran-koran

Andalas 1918

Deli Courant 1900

Indische Gids 1919

Sumatra Post 1899 -1941

Sumatra Bin Pho 1941

Gemeenteblad 1921-1928

Bahan-bahan arsip

–          Letter of J. van den Brand to the Minister of Colonies in Den Haag. Rijswijk, 29-3-1904. Ministerie van Koloniën, 1905-1963, doosnr. 290, 28-1-1905, Nationaal Archief, Den Haag.

–          Mailrapport no. 93/17, Governor van der Plas, 6 December 1916) (Ministerie van Koloniën 1900-1963. Alg. Verbalen, doosnr. 1719, Nationaal Archief, Den Haag.

–          Memorie van overgave (M.v.O.) (Memorandum of transfer) mayor Mackay of Medan, 1933, 106-109, KITLV, Leiden.

cara mudah menghasilkan uang dari internet

Permesta Bukan Pemberontak

Setelah Pemboman oleh Pemerintah Pusat lewat AURI atas kota Manado 22 Februari 1958, maka dikeluarkan pemberintahuan oleh Mayor W. Najoan dari penerangan angkatan darat KDM SUT untuk kepada siapa saja yang ingin membela PERMESTA untuk sukarela melapor dan dijadikan militer PERMESTA, beserta itu juga diberitahukan bahwa Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah yang secara struktur organisasi militer berada di bawah Teritorium VII Wirabuana dinyatakan dalam keadaan darurat perang-Staat Oorlog en Behleg (S.O.B).

Maka secara spontanitas pelajar, mahasiswa, pemuda, dan orang dewasa yang sanggup memanggul senjata di seluruh Sulawesi Utara datang melapor untuk siap dipersenjatai menjadi militer PERMESTA, dan tidak terkecuali ex-KNIL sesuai dengan ketentuan militer professional mereka harus melapor untuk siap kembali bertugas jika negara dalam keadaan darurat perang, hal ini telah ditegaskan sebelum mereka meninggalkan KNIL atau pada saat terakhir ketika KNIL di Indonesia dibubarkan tahun 1950 di Indonesia Timur, di Makassar oleh panglima TT-VII Wirabuana Kol.(TNI) A.E Kawilarang. Hampir 5000 ex-KNIL terkumpul kembali dengan usia sebagian besar mereka berada diatas 40-an dan 50-an, serta beberapa dari mereka ada yang mendekati 60 tahun. Beberapa ex-Marechausse (baca Marsose) melapor tetapi sudah tidak cukup memenuhi syarat karena berada pada usia 70 tahun, yang mana beberapa dari mereka pernah bertugas dibawah kesatuan 10th Marechausse Brigade yang terkenal (Marechausse dibuatkan museum tersendiri di negeri Belanda untuk mengenang kesatuan ini, Marechausse memiliki arti secara harafiah; “Abdi/Mengabdi ” atau Abdi Raja/Ratu bisa juga secara bebas disebut Imperial Guards-pengawal kerajaan koloni, marechausse sendiri berfungsi sebagai pasukan ringan/mobilitas tinggi tetapi punya penetrasi/kemampuan gempur yang efektif terhadap pertahanan gerilya lawan, dan konon Mobile Brigade milik POLRI didirikan karena terinspirasi oleh unit ini).

Ke-5000 ex-KNIL tersebut lebih banyak di alih tugaskan ke bagian senjata berat; Arteleri Medan/awak meriam lapangan dan Penangkis Serangan Udara (Anti-Airassult/Aircraft) mengingat usia mereka, tetapi yang tetap memiliki syarat dan kualifikasi untuk tugas di unit Infanteri tetap diberi tugas sebagai komandan komandan kompi baik kompi otonom maupun kompi dalam battalion, dan diakui setelah perang PERMESTA usai, ex-KNIL tersebut banyak membantu terutama dari segi pengalaman sebagai militer professional, banyak kompi-kompi campuran ex-KNIL dan TNI di Batalion-Batalion pasukan PERMESTA mendatangkan kesulitan luar biasa bagi tentara Pusat di medan tempur.

Awal Juni 1958 setelah AUREV-angkatan udara revolusioner/Permesta ditarik dari mapanget, karena pilot AUREV kebangsaan Amerika; Kapten pilot (Aurev)Allan Pope pesawatnya tertembak jatuh dan tertangkap bersama navigatornya Letnan (Aurev) Jan Harry Rantung, menguak keterlibatan Amerika di PERMESTA TROOPS. Maka AUREV praktis tidak bisa beroperasi leluasa menggunakan lapangan udara PERMESTA di Mapanget (Sam Ratulangi Airport sekarang). Sebuah Operasi dari tentara Pusat, melalui RPKAD (sekarang KOPASSUS) di gelar untuk merebut lapangan udara Mapanget dari Permesta, dengan komandan operasi Lettu. B. Moerdani, dikemudian hari diketahui Moerdani hanya di Pos Komando operasi dipinggiran pantai Wori, tidak menyertai pasukannya masuk ke Mapanget. Pasukan PERMESTA di Mapanget tidak siap menghadapi serbuan dadakan RPKAD ini memilih mundur ke pinggiran lapangan Mapanget arah kota Manado sebagian mereka yang tidak sempat mundur tertangkap dan persenjataan dilucuti , dan setelah mendapat konfirmasi kekuatan pasukan tentara pusat yang menyerbu Mapanget, maka Overstee (Permesta) Wim Joseph sebagai komandan pertahanan pangkalan mengerahkan 3 kompi pasukan Permesta untuk menyerang balik ke Mapanget, diantaranya Kompi CTP Jimmy Boys(Komando Reserve Umum), Kompi Togas (belakangan menjadi Batalion T) dan Kompi KMKB-kope2 Manado, ditambah satu peleton kawal dari Batalion X ditambah 2 Panzer ringan dari Kaveleri PERMESTA (Panzer ini buatan Inggris). Sergapan pasukan Pasukan PERMESTA pimpinan Overstee (Permesta) W. Joseph membuahkan hasil, setelah musuh mencoba penyerangan senyap dimalam hari dimana akhirnya pergerakan mereka terdeteksi dan tejadi pertempuran terbuka, pertempuran singkat itu menewaskan Sersan (RPKAD)Tugiman, Sersan (RPKAD) Tugiman ditewaskan oleh peleton kawal dari Batalion X ketika dia dan beberapa RPKAD lainnya berusaha menyerang posisi peleton kawal dari Batalion X dimana Overstee (permesta) W. Joseph juga berada disitu. Dini hari sebelum fajar RPKAD menghilang atau mundur dari Mapanget membawa rekan-rekan mereka yg luka-luka kemungkinan termasuk beberapa mayat rekan mereka yang tewas. Dua hari setelah pertempuran pasukan PERMESTA melakukan penyisiran perimeter sekeliling lapangan Udara Mapanget yang dilakukan Kompi-CTP Jimmy Boys dimana mereka menemukan seorang Kopral (RPKAD) Taher (orang Tegal)* di semak belukar di pinggiran Mapanget, ia terluka berat oleh peluru dari Browning Machine Gun .30 Cal., lukanya hampir membusuk, kemudian Kopral (RPKAD) Taher dibawa ke Rumah Sakit PERMESTA. Rumah Sakit PERMESTA tersebut dikepalai seorang Major (medis) keturunan China asal Manado sekaligus sebagai Komandan Detasemen Medis pasukan Permesta. (*Taher setelah sembuh dari luka-lukanya dia bergabung dengan tentara Permesta mengingat di tentara Permesta ada juga RPKAD yg bergabung, di perkirakan 40 personil RPKAD bergabung sebelum pecah perang. Dan setelah perang Permesta usai Taher pulang ke Jawa melapor kembali kesatuan-nya di RPKAD, dimana dia sendiri sudah dinyatakan tewas dalam tugas dan Jasadnya tidak diketahui, apalagi mengingat Tentara Pusat/TNI-Brawijaya memberi provokasi-pemberitaan bahwa PERMESTA adalah pasukan gerombolan dan barbar, tetapi Kopral (RPKAD) Taher memberi kesaksiannya atas apa yang dialami-nya selama dia dirawat karena lukanya dan sebagai tahanan, dan menerangkan ke atasannya bahwa setelah sembuh dia akhirnya memilih bergabung dengan tentara Permesta dan ikut bertempur melawan Tentara Pusat/TNI-Brawijaya, Kopral (RPKAD) Taher akhirnya mendapat penghargaan kenaikan pangkat ke Sersan Major RPKAD-TNI dan mendapat bintang Jasa).

Tidak berapa lama setelah kegagalan RPKAD di Mapanget, AURI datang menyerang Mapanget dengan kekuatan pesawat pesawat pemburu P-51 mustang, dimana mereka praktis beroperasi leluasa dan datang dari Morotai yang telah direbut TNI dari Pasukan PERMESTA di kep. Halmahera, dimana sekalipun TNI menyerbu ke Maluku Utara dan berhasil menguasai lapangan Udara Morotai milik PERMESTA, TNI tidak sanggup mengalahkan pasukan PERMESTA yang bertahan di kep. Halmahera atau KDP I Tentara Permesta. Pesawat-pesawat AURI sendiri sebelum RPKAD mencoba menyerang Mapanget, telah berhasil dirontokan oleh pertahanan lapangan udara PERMESTA di Mapanget yang notabene mereka adalah ex-KNIL yang mengawaki kanon-kanon anti serangan udara, dan sampai pada saat itu mereka atau ex-KNIL tersebut telah merontokan 3 pesawat AURI dimana sebuah pesawatnya jatuh di tanjung merah-Girian dan menewaskan Pilotnya, 2 lainnya jatuh ke laut tetapi Pilot-pilotnya berhasil meloncat keluar pesawat dan mendarat dengan parasut dilaut, kemudian di evakuasi oleh ALRI. Dan sejauh itu merupakan kemenangan Angkatan Darat Revolusioner-PERMESTA terhadap AURI setelah AUREV-PERMESTA praktis tidak leluasa beroperasi. Kembali seperti biasa AURI menyerang Mapanget dan seluruh awak kanon anti serangan Udara PERMESTA kembali menembak beruntun serempak ke Udara dari mana datangnya pesawat-pesawat AURI; sebut saja salah seorang ex-KNIL; Oom Pandey menjadi awak Kanon Anti Serangan Udara sudah berkacamata dan berusia diatas 50-an dengan tenang tanpa menunjukan airmuka gugup masih sanggup menembakan kanon anti serangan Udara ke arah pesawat pemburu AURI, dimana pesawat pemburu AURI tersebut sedang mengincar posisi kanon dari Oom pandey sambil menembakan roket serta mitraliur, dan roket pesawat pemburu AURI tersebut menerpa pinggiran kanon anti serangan Udara dan membuat Oom pandey tersebut terlempar keluar posisinya untung saja Oom Pandey tersebut tidak terluka, dia bergeming dan bergegas kembali duduk dibelakang kanon dan kembali memutar posisi kanonnya ke arah pesawat pemburu AURI dan menembak. Kanon-kanon anti serangan Udara PERMESTA lainnya menembak dan menebar peluru seperti jala di Udara Mapanget…sampai akhirnya pesawat-pesawat AURI menghilang dari wilayah Udara Mapanget. Pertahanan Udara PERMESTA di Mapanget merupakan pertahanan Udara terkuat yang diakui pernah dihadapi AURI sepanjang sejarah AURI berdiri dan terlibat diberbagai penugasan operasi udara.
Beberapa eks-KNIL juga mengawaki meriam lapangan seperti meriam berkaliber 155mm meriam pertahanan pantai digaris pantai Kota Manado, Recoilles Gun cal. 75 atau mortar 81 dalam memberikan tembakan bantuan kepada gerak maju Infanteri PERMESTA, atau membuyarkan serangan atau posisi musuh.

Di Infanteri PERMESTA eks-KNIL terlibat juga di garis depan, sebut saja Major (Permesta) Sem Lepar eks-KNIL juga, jauh sebelum menjabat kepala staf brigade Pancasila/Wehrkrise III di KDP II tentara Permesta, Major Lepar ini pernah memimpin Kompi KMKB –Manado (Garnizun) menahan gerak maju pasukan Tentara Pusat dari arah Tuminting ke kota Manado, dan menjadi pasukan terakhir yang meninggalkan kota Manado sebelum Manado di kuasai Tentara Pusat. Sementara itu di awal perang PERMESTA, tentara PERMESTA melancarkan “offensive operation” ke Sulawesi Tengah dan banyak eks-KNIL diikutkan dioperasi itu beserta dengan Brigade 999 dan eks Batalion 719-TNI(belakangan sebagian menjadi Batalion Q) dibawah komando panglima operasi Kolonel (Permesta) D.J Somba mereka sukses menguasai SulTeng, Tapi tidak berapa lama sebagian besar pasukan yang merebut SulTeng (Brigade 999) balik ke Minahasa melalui darat lewat hutan belantara, dimana eks-KNIL itu kebanyakan mati diperjalanan balik atau ketika mereka long march melintasi hutan belantara dari Sulawesi Tengah ke Minahasa, kebanyakan eks-KNIL tidak sanggup meneruskan perjalanan lagi karena usia dan habisnya perbekalan, mereka hanya menulis surat dan menitipkan pesan untuk keluarga mereka melalui tentara-tentara Permesta yang lebih muda yang masih sanggup melanjutkan perjalanan kembali ke Minahasa.

Ada juga Major (Permesta) David Pantow eks-KNIL yg pernah menjadi tawanan perang Jepang di Perang Pasifik, ditawan Jepang di Rabaul (kamp interniran), pada awal perang Permesta di Gorontalo, didesa Telaga, Kompinya terjebak ditengah-tengah satu Batalion TNI, dalam keadaan dikepung dan diserbu oleh tembakan jarak dekat dan bayonet oleh tentara Pusat ke posisi Kompinya, Major (Permesta) David Pantow dan seorang perwira peleton lainnya juga eks-KNIL dengan pistol ditangan kiri dan kelewang KNIL ditangan kanan mereka berdua memotong-motong ratusan TNI yg datang menyerbu dengan bayonet sampai akhirnya kompi Major (Permesta) David Pantow mendapat celah untuk keluar dari kepungan. Dan Major (Permesta) David Pantow ini kemudian menjadi Komandan Batalion O/Pinaesaan dan ikut membawa Batalionnya tersebut dalam operasi serangan umum di Kawangkoan. Setelah Kotamobagu jatuh ke tangan Tentara Pusat sept. 1959, di tahun 1960 di daerah dumoga Batalion O/Pinaesaan pernah memukul mundur telak Batalion 521/Brawijaya TNI meninggalkan ratusan personilnya tewas. Major David Pantow sendiri setelah perang Permesta berhenti lewat penyelesaian 4 April 1961, ketika ditugaskan dengan beberapa perwira menengah tentara Permesta yg akan meng-sosialisasikan ke Tentara Permesta yg masih dikantong-kantong pertahanan di daerah Brigade 999 untuk diberi himbauan supaya turun dari daerah kantong gerilya sesuai kesepakatan 14 April 1961 dengan Pemerintah Pusat, dia dijebak diperjalanan oleh Tentara Pusat yang juga bersama dengan mereka, dihutan sebelum area Tompaso Baru dan dibunuh oleh Tentara Pusat/TNI-Brawijaya (dendam peristiwa telaga) termasuk perwira menengah Permesta yg ikut dengannya. Kemudian dilaporkan Tentara Pusat bahwa Major (Permesta) David Pantow beserta beberapa perwira menengah Tentara Permesta yang ikut dengannya disergap dan di bunuh oleh Tentara Permesta yang tidak mau menerima penyelesaian perang Permesta.
Banyak lagi kisah kisah para eks-KNIL di PERMESTA TROOPS lainnya yang menunjukan loyalitas dan profesionalitas mereka sebagai militer. Sekalipun dalam usia yang dinyatakan sudah hampir tidak memenuhi syarat di medan tempur, setidaknya eks-KNIL atau “the Oldcrack” atau tentara tua yang berpengalaman telah memberikan contoh moril dan moral dalam pertempuran bagaimana seharusnya untuk menghadapi pertempuran itu sendiri. Dengan disiplin tentara yang “Cadaver” atau disiplin mati, mereka tidak pernah melibatkan dan dilibatkan dalam bentuk apapun yang berbau politik, militer yang benar-benar bertugas untuk perang saja, dan dalam pertempuran sering kali para KNIL menghunus kelewang KNIL mereka untuk bertempur dalam jarak dekat sambil berteriak dengan lantangnya “KNIL nooit retraite!” (KNIL pantang mundur). Dan sangat pantaslah dengan badge atau lambang KNIL; seekor singa jantan yang berdiri mengaum sambil mengangkat pedang dan memegang perisai khas cakalele dengan warna keseluruhan orange bright (KNIL-Koninglijke Nederland Oost Indische Leger-Legiun Kerajaan Hindia Timur Belanda).

Tidak ada salahnya juga terima kasih dan penghormatan disematkan kepada orang-orang tua bekas-bekas KNIL yang telah mendedikasikan sisa hidupnya dan mati dalam pertempuran untuk membela panji-panji PERMESTA pada perang PERMESTA 1958-1961. KNIL-“ Singa-singa dari Hindia Timur.”

Yayasan Belanda Pugar Bangunan Sejarah Sumatra Barat

Prins Claus Fund, atau Yayasan Pangeran Claus membantu pemerintah Indonesia memperbaiki dan memugar bangunan sejarah di Sumatra Barat yang rusak atau bahkan hancur akibat bencana gempa bumi 30 September lalu.

Menurut Catrini Kubontubuh dari BPPI, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, bukan pertama kalinya yayasan tersebut membantu Indonesia. Menurut Yayasan Prins Claus, budaya adalah kebutuhan dasar manusia. Modal dasar untuk tahap pemulihan kembali masyarakat setelah bencana, juga lewat budaya. Dengarkan penjelasan Catrini Kubontubuh kepada Radio Nederland:

RNW: Kenapa Yayasan Prins Claus tertarik mengadakan kerjasama?

Catrini Kubontubuh: Saya melihat, dari misi yayasannya memang ada satu konsep yang sangat menarik. Mereka menyebutkan, culture is a basic need – jadi budaya dan heritage adalah kebutuhan mendasar bagi manusia. Kalau kita melihat proses mitigasi bencana, di Indonesia sendiri masih rely bantuan pertama kepada penanggulangan kebutuhan mendasar, seperti makanan atau shelter. Pokoknya agar kehidupan berjalan baik dulu, sementara budaya itu terlupakan. Prins Claus melihat bahwa modal dasar untuk menggiatkan kembali atau me-recovery trauma akibat budaya yaitu dari budaya. Dari misi itulah ia berusaha membantu berbagai negara, tidak hanya Indonesia.

RNW: Setelah gempa tahun 2007, Prins Claus membantu membangun kembali mesjid Rao-rao. Bagaimana prosesnya?

Catrini Kubontubuh: Sama seperti sekarang. Benar-benar cepat merespons. Mungkin karena jaringan solidarity antarpara pelestari. Ketika terjadi bencana, yang pertama kali kita pikirkan adalah heritage di tempat itu bagaimana, apakah hancur atau aman. Ketika hancur, apa yang perlu dilakukan. Ketika terjadi gempa di Sumbar, kita langsung bisa berkomunikasi dengan Prins Claus. Kebutuhannya yang paling prioritas yang terancam yang mana. Waktu itu kita dapatkan [datanya] dari mitra kita masyarakat lokal di Sumbar dan juga organisasi pelestariannya menyebutkan mesjid Rao-rao – jadi itu yang kita ajukan. Bagaimana kita berkolaborasi untuk merenovasi mesjid ini.

RNW: Bantuan Prins Claus ini berupa apa? Dana atau expertise?

Catrini Kubontubuh: Lebih berupa dana. Dan kita senangnya karena Prins Claus ini mengutamakan local wisdom – keahlian lokal, gitu. Jadi diserahkan langsung pada masyarakat di sana.

Pemkot Medan Hentikan Penghancuran Vila

Masyarakat dari berbagai kalangan menolak penghancuran gedung vila kembar yang berada di Jalan Diponegoro, Medan. Penghancuran gedung tersebut berarti turut menghilangkan identitas Kota Medan. Mereka menuding eksekutif sengaja membiarkan penghancuran ini terjadi.

Vila kembar ini merupakan perumahan perkebunan pertama yang ada di Medan. Bangunan ini berada dalam satu kawasan pusat kota. “Namun penghancuran malah dibiarkan oleh pemerintah,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumatera Utara, Ahmad Deliarnur, Minggu (25/10) saat bersama elemen warga lain menduduki gedung tersebut.

IAI bersama elemen lain seperti Badan Warisan Sumatera (BWS), Pusat Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Sejarah (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), dan seniman menduduki bangunan yang tengah dihancurkan tersebut. Pendudukan berlangsung mulai 13.00 sampai 13.30. Tidak ada insiden saat pendudukan meski kuli bangunan yang menghancurkan gedung ada di lokasi. Belasan elemen masyarakat tersebut lantas membentangkan poster keprihatinan di lokasi gedung yang hancur.

Vila kembar merupakan bangunan kembar berjumlah empat berderet di Jalan Diponegoro Medan mulai dari nomor 6, 8, 10, hingga 12. Dua dari empat bangunan tengah dihancurkan untuk pembangunan hotel yaitu bangunan nomor 8 dan 10 . Akhir pekan lalu hanya satu bangunan yang telah hancur. Namun penghancuran terus berlangsung meski memasuki akhir pekan. Penghancuran gedung ini dilakukan oleh belasan orang. Tidak hanya gedung yang hancur, pepohonan rindang di sekitar vila juga hancur.

Berdasarkan data IAI Sumut, bangunan itu telah ada dalam peta Medan tahun 1890. Arsitektur bangunan tersebut bergaya Melayu, yang terlihat dalam bentuk atap bertingkat dua. Pintu masuk ke bangunan dibentuk kolom, yang didukung empat pilar. Hanya satu dari empat bangunan ini yang terawat baik, yaitu bangunan nomor 12, yang ditempati oleh Bank Commonwealth.

Sumber-Kompas

Sensitivitas Fungsi Baru Bangunan Bersejarah

Oleh: Hasti Tarekat

BANGUNAN berusia minimal 50 tahun yang mempunyai kekhususan dari segi arsitektural dan menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat layak disebut sebagai bangunan bersejarah. Indonesia mempunyai banyak sekali bangunan bersejarah, baik yang sifatnya tradisional maupun kolonial. Untuk melestarikan bangunan bersejarah, selain peremajaan secara fisik, juga perlu adanya fungsi baru.

Fungsi baru bangunan bersejarah sebaiknya memerhatikan aspek-aspek tata kota (lokasi bangunan dan lingkungan sekitar), fisik bangunan (arsitektural, konstruksi, organisasi ruang, dan fisika bangunan), ekonomi (potensi untuk memobilisasi pendapatan), dan sosial (potensi untuk kesejahteraan dan kebanggaan masyarakat).

Pengalaman menunjukkan bahwa memutuskan fungsi baru bangunan bersejarah tidaklah sederhana karena, selain harus memerhatikan nilai fisik, kita juga harus menimbang dengan cermat nilai intrinsiknya. Mungkin itu sebabnya kasus Buddha Bar di Jakarta menyeruak karena fungsi yang baru dari bekas gedung imigrasi tersebut tidak memenuhi kriteria sosial di atas.

Penggunaan nama Buddha Bar dianggap tidak layak karena memiliki asosiasi dengan agama Buddha dan juga posisinya di antara agama-agama lain. Selain itu, fungsi baru gedung itu juga dianggap elitis, hanya untuk golongan atas saja.

Sensitivitas fungsi baru bangunan bersejarah terjadi di mana-mana. Kita bisa mengambil contoh dari beberapa negara. Di Belanda banyak gereja dan biara dimanfaatkan untuk fungsi yang baru sebagai cerminan proses sekularisasi. Sebagian anggota masyarakat keberatan dengan hal itu karena bagi mereka gereja dan biara adalah jiwa dari suatu tempat dan nilai religiusnya harus dipertahankan.

Ada sebagian orang yang berusaha menyesuaikan dengan tuntutan tersebut dan menjadikan bangunan bekas gereja dan biara misalnya sebagai penampungan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Namun, banyak juga yang tidak keberatan dengan fungsi sekuler dengan menyulapnya sebagai tempat pesta dan apartemen. Perubahan fungsi bangunan yang termasuk pusaka religius sebenarnya bukan hal baru dan terjadi di mana-mana.

Contoh lain, gedung Hagia Sophia di Istanbul yang dibangun tahun 536 sebagai gereja terbesar di dunia pada tahun 1453 berubah menjadi masjid dan tahun 1934 berubah lagi menjadi museum. Sementara itu, Mezquita de Cordoba di Cordoba, Spanyol, kompleks bangunan yang selesai dibangun tahun 1000, berubah fungsinya menjadi katedral pada abad ke-16.

Walaupun demikian, fakta-fakta ini tidak membuat gejolak emosi perubahan fungsi bangunan bersejarah yang termasuk pusaka religius berhenti. Protes dan silang pendapat masih berlangsung sampai sekarang karena nilai sosial suatu bangunan bersejarah tidak bisa diberi label harga tertentu, semakin besar nilai memori kolektifnya, semakin sensitif pula penentuan fungsi barunya.

Situasi ini diperumit dengan persyaratan ekonomi bahwa fungsi baru harus mampu pula mendatangkan pendapatan yang cukup untuk pemeliharaan bangunan dan tentu saja keuntungan untuk investornya. Mencari keseimbangan antara nilai sosial dan nilai ekonomi merupakan tantangan yang berat.

Salah satu contoh pelestarian pusaka yang mendekati keseimbangan nilai sosial dan nilai ekonomi adalah Westergasfabriek di Amsterdam. Westergasfabriek adalah pabrik batu bara yang dibangun tahun 1885 dan berhenti berproduksi tahun 1967. Sejak itu, kompleks bangunan seluas 14 hektar ini berfungsi sebagai garasi dan bengkel. Sebagian bangunan dihancurkan dan yang tersisa adalah 13 bangunan bergaya Neo-Renaisan yang seluruhnya berstatus bangunan bersejarah yang dilindungi.

Bagaimana menentukan fungsi baru yang sesuai untuk lahan pusaka sarat polusi dengan banyak bangunan bersejarah di atasnya? Strategi yang dipilih adalah mengombinasikan fungsi baru yang sifatnya sementara, yaitu sebagai tempat berbagai pertunjukan dengan rencana pelestarian jangka panjang sebagai taman budaya dan sarana rekreasi dan olahraga.

Lahan pusaka ini harus dibersihkan dulu, bangunan-bangunannya harus direnovasi, tim kerja harus dibentuk, dana harus dicari, dan semua itu merupakan suatu proses panjang yang kompleks selama hampir 15 tahun. Motor dan inisiatornya adalah pemerintah lokal yang menunjuk seorang pejabat sebagai penanggung jawab seluruh proyek.

Pimpinan proyek inilah yang mengorganisasikan kerja sama dengan pihak swasta dan masyarakat. Sejak tahun 2003, di kawasan ini dikembangkan berbagai fungsi baru antara lain bioskop, ruang pertemuan, sarana pertunjukan, bakeri, kafe, galeri, berbagai perusahaan, tempat penitipan balita, dan museum untuk anak-anak. Selain itu, fasilitas ruang terbuka dimanfaatkan sebagai sarana olahraga dan rekreasi oleh publik secara cuma-cuma. Westergasfabriek mampu menggalang dananya sendiri untuk pemeliharaan tanpa bergantung pada subsidi pemerintah dan kompleks ini menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.

Dalam kasus Buddha Bar di Jakarta, masalahnya bukan hanya nilai ekonomi dan nilai sosial. Namun, juga berunsur permainan politis melalui kepemilikan berbau nepotisme. Jika masalahnya diurai satu demi satu dan dipisah-pisahkan, terlepas dari komplikasi nepotisme, mungkin harus dievaluasi kembali kemungkinan terbaik fungsi baru gedung ini bagi Jakarta. Suatu fungsi baru yang mengembalikan investasi dan memberi keuntungan secara ekonomi, menumbuhkan kebanggaan warga Jakarta dan memberi manfaat bagi khalayak seluas-luasnya. Mungkin, kombinasi berbagai fungsi baru seperti Westergasfabriek. Namun, dalam skala lebih kecil merupakan suatu alternatif.

(Hasti Tarekat adalah dosen tamu di Reinwardt Academy Amsterdam, Belanda)

Bangunan Tua Miliki Nilai Ekonomis Bisa Jadi Wisata Budaya

Medan- Pakar sejarah dan arsitektur Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Eko Budihardjo MSc menyatakan bangunan-bangunan tua memiliki nilai ekonomis karena bisa menjadi objek wisata budaya bagi para wisatawan. “Jadi tidak benar anggapan jika bangunan tua suatu daerah hanya bernilai sosial budaya. Bangunan tersebut juga bernilai ekonomis,” ungkapnya ketika tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional Arsitektur yang dilaksanakan Fakultas Teknik Arsitektur ITM, Kamis (10/7) di Istana Maimon Medan.
Seminar dalam rangkaian kegiatan Olimpiade Arsitektur se-Sumatera (OASe), bertema “Revitalisasi Bangunan Konservasi di Kota Medan” itu dibuka Rektor ITM, Ir Mahrizal Masri MT diwakili Dekan Fakultas Teknik Arsitektur Ir Basri Syarif MEng tersebut juga menampilkan pembicara Dr.Phil Ichwan Azhari (Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Unimed) dan Ir Suhardi Hartono MSc. Lebih lanjut, Eko Budihardjo menjelaskan bangunan-bangunan tua pada suatu kota merupakan karya seni sosial yang luar biasa. Bangunan tersebut menunjukkan identitas dan karakter masyarakat kota tersebut sehingga nilai sejarahnya sangat besar. “Nah pemerintah seharusnya menjaga dan memanfaatkan nilai sejarah untuk bisa menghasilkan Pendapatan Asli Daerah/PAD,” ujarnya.
Namun, dia menyayangkan para pemimpin daerah, kabupaten/kota tidak konsen menjaga dan merawat bangunan tua malah bangunan tersebut dihancurkan dan dijadi lahan bisnis guna menambah PAD.

Direvitalisasi

Di contohkannya, Singapura punya bangunan kota sejarah little India, Inggris mempunyai China Town dan sebagainya. Bangunan tua seperti itu tidak dihancurkan malah direvitalisasi/dihidupkan kembali dan menjadi kebanggaan serta pengasilan pemerintah setempat.
Pakar arsitektur ini juga melihat kesadaran masyarakat dan pemerintah kabupetan/kota untuk menjaga bangunan tua masih rendah.
Karena itu, Eko Budihardjo mengharapkan peran perguruan tinggi seperti ITM untuk memberikan masukan pada pemerintah melalui kajian penelitian tentang manfaat, dan nilai bangunan bersejarah.
“Saya melihat bangunan-bangunan tua bersejarah di Kota Medan sudah layak untuk diteliti dan bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan pada pemerintah. ITM saya pikir sudah bisa melakukan itu,” ucapnya.

Nilai

Sementara itu menurut, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Unimed Dr. Phil Ichwan Azhari mengatakan banyaknya bangunan-bangunan dan lokasi bersejarah hancur dan hilang di Kota Medan tidak terlepas dari kebijakan Pemko Medan yang menanggap bangunan tersebut tidak bernilai ekonomis. Pemko menilai bangunan bersejarah tersebut dihancurkan untuk kepentingan ekonomi.

Selain itu, katanya, anggota DPRD dan Pemko Medan juga kurang rasa memiliki dan masih rendahnya pengetahuan, kesadaran sejarah kota yang mereka huni. Mereka menanggap bangunan dan kawasan bersejarah dianggap `benalu` yang merugikan Pemko Medan.

Kegiatan seminar tersebut juga dirangkaikan dekralasi para peserta seminar yang ditujukan kepada Pemprovsu guna menjaga dan melestarikan bangunan cagar budaya dan objek wisata budaya di Kota Medan. Seminar itu juga dihadiri Ketua Yayasan Dwi Warna Syamsuddin Djamin, Pengurus Yayasan Sultan Maimun Al Rasyid, Pengurus Badan Warisan Sumatera, Humas ITM, M Vivahmi SH, Ketua Panitia Ardiansyan ST MT. (twh)

Sumber : http://www.analisadaily.com (11 Juli 2008)

Pusaka Heritage Medan yang Kian Sirna

Jumlah bangunan tua di Medan yang memiliki muatan sejarah mahapenting, perlahan menyurut, seiring derap pembangunan fisik kota atas nama modernisasi

Medan terus berbenah. Kota tua yang baru saja berusia 416 tahun pada 1 Juli 2006 bergeliat cepat mengejar impian untuk menjadi kota metropolitan. Wali Kota Medan Abdillah pun mendambakan kota ini sebagaimana kota-kota besar di negara tetangga, seperti Penang dan Kuala Lumpur.

Executive Director Badan Warisan Sumatera Ir Soehardi Hartono MSc menilai, segenap aktivitas fisik seperti pelebaran jalan, pendirian pusat-pusat perdagangan, gedung-gedung baru atas nama dinamika perputaran ekonomi, kerap menggusur gedung-gedung lama yang dianggap perintang.

Menurut Soehardi, penghancuran bangunan-bangunan tua selama ini cenderung untuk mengejar pendapatan asli daerah. Ironisnya, kebijakan yang mengatas namakan pembangunan Medan menuju kota metropolitan sangat tergesa karena hanya meraup keuntungan jangka pendek, dengan mengabaikan aspek lingkungan dan berbagai aspek sosial-budaya masyarakat.

Banyak monumen masa lalu yang hanya terekam dalam bingkai foto bisu. Menyisakan nama dan cerita kejayaan masa lalu. Saksi hidup dari lembaran sejarah yang punah itu diantaranya eks Kantor Bupati Deli Serdang di Jalan Brigjen Katamso, Gedung South East Asia Bank di Jalan Ahmad Yani, eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum Medan di Jalan Listrik, bangunan bersejarah Balai Kerapatan Adat di Jalan Brigjen Katamso, serta sembilan pemusnahan rumah panggung di Jalan Timur.

Di Jalan Suka Mulia, eks Kantor Badan Kepegawaian Daerah Sumatera Utara juga sudah rata dengan tanah. Rencananya, di bekas lokasi gedung tua ini akan dibangun apartemen mewah.

Tiga tahun lalu bangunan bersejarah yang merupakan perpaduan arsitektur Eropa dan tropis, yaitu eks Gedung PT Mega Eltra, juga rata dengan tanah.

Dan, yang kini masih bisa direkam adalah pembongkaran sebagian bangunan eks Bank Modern di kawasan Kesawan, Jalan Ahmad Yani. Bangunan bercorak art deco itu pernah menjadi Kantor Perwakilan Stork, perusahaan Belanda yang memproduksi dan menjual mesin-mesin industri perkebunan.

Perlahan bangunan yang berusia 75 tahun itu pun telah dihancurkan. Bagian atap dan seluruh dinding dalam bangunan itu tak kuasa menahan kecanggihan tehnologi abad 21. Kejayaan yang tersisa cuma terlihat dari muka dan samping gedung. Itu pun diyakini akan musnah karena bangunan ini rencananya akan disulap menjadi sebuah rumah toko (ruko) bertingkat lima.. Bangunan sekaliber Balai Kota di Jalan Balaikota pun harus terintimidasi sebuah mega proyek berjudul City Hall.

Menurutnya Soehardi, Medan mestinya dapat meniru negara-negara Eropa yang mempertahankan keaslian bangunan bersejarah di bagian luar sementara bagian dalamnya direnovasi sesuai perkembangan zaman. “Kita harus mempertahankan bangunan-bangunan itu karena kita belum tentu dapat membangun yang serupa di masa kini. Kita bisa belajar bagaimana Jerman mengelola asset kota tuanya. Penonton tak hanya menikmati pagelaran piala dunia saja, tapi di sana mereka juga disuguhi keindahan gedung-gedung tua bersejarah,” sebut Soehardi.

Lebih jauh lelaki yang mengambil gelar S2 arsitek dan perencanaan kota di Technical University Delft melihat pola umum yang terjadi, terutama di masa reformasi, justru kecenderungan pemerintah kabupaten/kota menjual asset aset negara. “ Pemerintah selalu melihat kota itu sebagai aset. Maka, budaya dan warisan budaya juga dilihat sebagai asset. Tanpa memperdulikan efeknya maka budaya dan peninggalannya cenderung tergadaikan hanya untuk mengejar PAD.” katanya.

Menurut dia, penyebab semua itu tidak lain karena pemerintah tidak punya mekanisme bagaimana seharusnya sebuah rencana pembangunan kawasan harus dilaksanakan.

Lebih jauh disebutkan, sebagian besar kota di Indonesia sangat tertinggal dalam sistem pengelolaan dan persepsi terhadap Heritage (warisan) peninggalan budaya masyarakat baik yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat mata (intangible).

“ Persepsi tentang apa itu heritage masih belum singkron. Padahal ini penting supaya pemerintah dapat membuat kebijakan dan menyusun program pelestarian yang bermanfaat untuk jangka panjang,” kata Soehardi.

Penyamaan persepsi tentang pelestarian warisan budaya ini tidak hanya dibebankan kepada sejarawan, arsitek ataupun BWS namun juga tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota merumuskan peraturan dan sistem kerja sehingga kekayaan warisan budaya masyarakat terlindungi.

Karena bila warisan budaya itu dikelola dengan sistematis maka akan memberikan topangan kesejahteraan, bukan cuma pada sisi budaya, tetapi juga sisi ekonomi, wisata, dan sistem sosial yang terpelihara.

Padahal di Sumatera Utara memiliki potensi natural heritage (warisan alam) dan cultural heritage (warisan budaya) yang sangat kaya. Sayangnya, menurut Soehardi, cultural heritage, apalagi yang bersifat intangible seperti budaya, bahasa, kecakapan membuat kerajinan, kecakapan membuat tembang dan karya seni, seringkali tidak mendapat perhatian dalam pelestarian dan pengembangan. Akibatnya, kekayaan warisan budaya masyarakat pun kian memudar, kian jauh dari konteks kehidupan riil, dan akhirnya terbengkalai

“ Ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada mekanisme agar tiap rencana perubahan kota, apalagi menyangkut warisan budaya yang menjadi hak publik untuk tahu, dan berpartisipasi,” katanya.

Karena itu, dalam hubungan ini, pemerintah harus menjadi contoh pengelolaan gedung-gedung tua yang menjadi asset mereka, sehingga dapat mendorong masyarakat dan kalangan nonpemerintah untuk menumbuhkembangkan kesadaran pengelolaan dan pelestarian warisan budaya heritage.

Pemerintah kota mesti tanggap dan merespon cepat saran ini. Karena umumnya kita lebih jago dikonsep namun kedodoran implementasinya dengan berbagai alasan. Kalau sudah begini, kita hanya menunggu waktu hilangnya sebuah jati diri Kota Medan.

Previous Older Entries